BAB
I
PENDAHULUAN
Ada sementara anggapan bahwa sufisme adalah identik dengan
pola hidup asketik dan kepasrahan hidup yang statis. Anggapan ini tidak
selamanya benar, minimal bila hal itu dikaitkan dengan konsep sufisme yang
diajarkan al-Ghazali, seorang sufi, teolog, filosof, dan juga seorang faqih
yang mumpuni.
Dari karya-karya yang dihasilkan, ia menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif dengan melihat kehidupan ini sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui kegiatan yang aktif. Dalam kaitan ini al-Ghazali pernah mengatakan, anna al-sadata la tunalu illa bi al ilmi wa al-amali (kebahagiaan tidak akan pernah ditemukan tanpa adanya ilmu dan amal).
Dari karya-karya yang dihasilkan, ia menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif dengan melihat kehidupan ini sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui kegiatan yang aktif. Dalam kaitan ini al-Ghazali pernah mengatakan, anna al-sadata la tunalu illa bi al ilmi wa al-amali (kebahagiaan tidak akan pernah ditemukan tanpa adanya ilmu dan amal).
Inilah salah satu aspek yang cukup menarik untuk ditelaah,
dikaji dan diapresiasi secara kritis sehingga konsep yang dirtawarkannya dapat
meluruskan sementara anggapan miring tentang tasawuf, dan mencairkan kekentalan
sufisme yang bernuansa pasif, pasrah dan lari dari realitas. Di samping itu,
al-Ghazali berusaha ingin menyelaraskan suatu konsep ajaran sufi yang tidak
hanya mengutamakan ajaran syariah yang bersifat simbolistik-legalistik-formalistik
semata, namun juga melalui pengembaraan dan perenungan hati secara mendalam
dalam menemukan kebenaran sejati yang langsung datang dari yang Maha Benar,
Allah swt melalui kebersihan dan kesucian kalbu. Sehingga cahaya Allah (nur
al-Allah) inilah yang selanjutnya dapat membimbing manusia menuju ridha-Nya.
Atau dengan kata lain, dengan menjalankan ajaran-ajaran hakikat di samping
ajaran-ajaran syari.
. Hal demikian telah dilalui oleh al-Ghazali dalam mencari
dan menemukan sebuah kebenaran, yang dimulai dari pemngembaraan intelektualnya
sebagai seorang teolog, filosof, ahli batin, yang kesemuanya menurut al-Ghazali
tidak dapat menuntunnya menuju kepada kebenaran yang hakiki (ilm al-yaqin),
bahkan menjadikan diri al-Ghazali goncang, ragu, dan bimbang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengembara’an Intelektual dan Spiritual al-Ghazali
Sebutan al-Ghazali sebetulnya bukan nama aslinya. Nama
aslinya adalah Muhammad saja. Tapi lebih dikenal dengan Abu Hamid. Bila disebut
secara lengkap namanya adalah al-Imam Zainuddin Hujjat al-Islam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Faqih al-Shufi al-Syafi. Ia lahir
pada tahun 450 H/1059 M di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat
Thus di Khurassan empat setengah abad setelah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke
Madinah dan kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke
singgasana Saljuk. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima (55)
tahun, pada tanggal 14 Jumadil akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M.
Karir intelektual dan spiritualnya dimulai dari ketika
ayahnya meninggal dunia, dan sebelum sang ayah meninggalkan al-Ghazali, dia
menitipkannya pada seorang guru sufi agar memelihara kedua anaknya, yaitu
Muhammad dan Ahmad, namun lama-kelamaan sang sufi yang faqir tersebut tidak
bisa melanjutkan memelihara kedua bocah tersebut, karena kehabisan biaya untuk
memeliharanya. Akhirnya ia mnyerahkan kedua bocah itu kepada madrasah Thus
untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan.
Di sinilah awal mula perkembagan intelektual dan spiritual
al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya. Secara sepintas di sini dapat
digambarkan bahwa karir dan pengembaraan intelektual al-Ghazali dimulai dari
pengajaran seorang sufi yang mengajari menulis (khath) di madrasah Thus, dia
mulai belajar fiqh Syafi dan teologi dari seorang guru yang bernama Ahmad bin
Muhammad a-Razakani al-Thusi. Dalam usianya yang belum mencapai 20 tahun, dia
melanjutkan studinya ke Jurjan di bawah bimbingan seorang ulama, Abu Nasr
al-Isma, selain belajar ilmu agama, dia juga giat mempelajari bahasa Arab dan
Persia. Tidak diketahui berapa lama ia belajar di Jurjan itu, lalu al-Ghazali
kembali ke Thus. Selama itu al-Ghazali sempat mempelajari ilmu tasawuf dari
Yusuf al-Nassaj (w. 487 H), setelah itu al-Ghazali berangkat ke Nisyapur
bersama beberapa orang temannya untuk berguru kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini.
Di sini al-Ghazali memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan
yang meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, teologi, logika, filsafat, metode
brdiskusi dan sebagainya. Di sini pula al-Ghazali sempat belajar sufisme kepada
Abu Ali al-Fadlil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadhi (w. 477 H) dari segi teori
dan prakteknya. Dengan demikian, selama di Nisyapur, kota terbesar di daerah
Khurassan, al-Ghazali benar-benar menjadi seorang inteketual paripurna dengan
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali meningggalkan kota
Nisyapur, karena guru tersayangnya, Imam al-Juwaini telah meninggal dunia. Dia
menuju Muaskar dengan maksud bergabung dengan kaum intelektual dalam majlis
seminar yang didirikan oleh Nidzam al-Mulk, seorang wazir Saljuk, pecinta ilmu
dan seorang ulama. Di sinilah nama al-Ghazali mulai diperhitungkan, karena
penguasaan ilmunya, kehebatan analisisnya, dan ketajaman argumentasi yang
dikemukakannya. Sehingga al-Ghazali menjadi imam atau rujukan para intelektual
di wilayah Khurassan waktu itu. Kurang lebih selama 6 tahun al-Ghazali terlibat
dalam diskusi ini di Mu’askar. Karena keluasan ilmunya al-Ghazali diangkat oleh
Nidzam al-Mulk sebagai guru besar dan sekaligus memimpin madrasah tersebut di
kota Baghdad pada tahun 484 H/1091 M.
Kedalaman dan keluasan ilmunya menyebabkan dia menjadi ragu
(syak) terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperolehnya melalui panca
indera, karena panca indera terkadang tidak dapat dipercaya. Sebagai umpama ia
sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata
berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi
Begitu juga ketika al-Ghazali mempelajari ilmu kalam atau teologi dari gurunya, al-Juwaini, di situ ternyata terdapat beberapa aliran yang sangat bertentangan. Sehingga hal ini menyebabkan al-Ghazali menjadi ragu terhadap segala-galanya. Maka timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali aliran manakah yang betul-betul benar di antara aliran-aliran ini. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, al-munqidz min al-dlalal (penyelamat dari kesesatan), ia ingin mencari kebenaran sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. Dengan adanya berbagai pertentangan di tubuh aliran-aliran kalam, maka menurut al-Ghazali ilmu kalam tidak dapat memenuhi tuntutan jiwa.
Begitu juga ketika al-Ghazali mempelajari ilmu kalam atau teologi dari gurunya, al-Juwaini, di situ ternyata terdapat beberapa aliran yang sangat bertentangan. Sehingga hal ini menyebabkan al-Ghazali menjadi ragu terhadap segala-galanya. Maka timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali aliran manakah yang betul-betul benar di antara aliran-aliran ini. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, al-munqidz min al-dlalal (penyelamat dari kesesatan), ia ingin mencari kebenaran sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. Dengan adanya berbagai pertentangan di tubuh aliran-aliran kalam, maka menurut al-Ghazali ilmu kalam tidak dapat memenuhi tuntutan jiwa.
Dalam kaitan ini, al-Ghazali mengatakan, kujumpai ilmu kalam
adalah ilmu yang telah sempurna sesuai dengan tujuannya. Hanya saja belum
mencukupi bagi tujuanku. Tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus sunnah
dan melindunginya dari bisikan Sifat rasionalitas dan banyaknya pertentangan
konsep-konsep ilmu kalam justru membuat manusia mengambang keyakinannya. Dalam
hal ini, al-Ghazali mengatakan, aku tidak meragukan bahwa ilmu kalam hasilnya
telah memadai bagi suatu golongan tertentu, akan tetapi hasil yang masih berbau
taklid terhadap hal-hal yang tidak bersumber atas pengertian-pengertian
awaliyat. Hal ini sedikit faedahnya bagi orang yang menuntut kepastian yang
benar-benar meyakinkan.
Setelah al-Ghazali mempelajari ilmu kalam dan dirasa di sana
tidak dapat ditemukan kebenaran, maka al-Ghazali mencoba menguak tabir
kebenaran menurut filsafat dan pendapat para filosof. Ternyata argumen-argumen
yang dikemukakan para filosof tidak dapat memuaskan jiwa al-Ghazali, bahkan dia
manganggap bahwa pendapat yang dikemukakan para filosof itu bertentangan dengan
ajaran Islam. Dalam keadaan inilah ia mengarang sebuah kitab maqashid al-fulasifah
(pemikiran para filosof). Buku ini ditulisnya untuk mengkritik dan kemudian
menghancurkan para filosof dan filsafatnya. Kritikan dan serangan itu dalam bentuk
buku yang diberi judul tahafut al-fulasifah (kekacauan pemikiran para filosof:
the incoherence of the philosophers).
Al-Ghazali menyerang
dan mengkritik para filosof karena diasarkan pada penilaiannya terhadap
hasil-hasil pemikiran filosof atas tiga kategori; pertama, pendapat-pendapat
yang tidak dapat diingkari kenyataannya; kedua, pendapat-pendapat yang wajib
dikafirkan; dan ketiga, pendapat-pendapat yang bersifat bid’ah. Di antara
konsepsi para filosof yang dinilai al-Ghazali menyebkan kekafiran adalah bahwa
alam itu qadim dan azali, Allah tidak mengetahui hal-hal secara terperinci
(hanya mengetahui garis besarnya saja), dan bahwa yang akan dibangkitkan
kembali hanyalah ruh tanpa jasad.
Ternyata al-Ghazali adalah bukan seorang yang mempunyai tipe mudah
menyerah dalam mencari dan menemukan kebenaran sejati (ilm al-haqiqi). Maka dia
mencoba menerobos dan mempelajari ilmu batin yang diajarkan oleh syi’ah
bathiniyah yang mengharuskan pengikut-pengikutnya untuk bertaklid buta kepada
imamnya dalam urusan agama dan keduniaan. Di sini al-Ghazali juga tidak bisa
menemukan kebenaran, bahkan dia malah tidak membenarkan ajaran syi’ah tersebut.
Al-Ghazali mengatakan dari pada berpegang dan beriman kepada
sesama pengikut Nabi, lebih baik beriman langsung dan mengikuti langsung kepada
petunjuk dan sabda-sabda Nabi. Setelah api jiwanya merasa tidak terpuaskan oleh
jalan yang ditempuh ilmu kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah, al-Ghazali
kemudian mengerahkan perhatiannya pada ajaran tasawuf. Berbagai kitab tasawuf
ia santap dengan lahapnya, seperti kitab al-Risalat al-Qusyairiyah, Qut
al-Qulub, dan lain-lain. Di samping itu, keluarga al-Ghazali juga sangat
berperan dalam mengantarkannya dan sangat memberi peluang iklim kondusif
baginya untuk mempelajari ilmu tasawuf. Saudaranya sendiri termasuk salah satu
tokoh sufi.
Ternyata dalam tasawuflah al-Ghazali dapat menemukan yang
selama ini ia cari dan dambakan, yaitu kebenaran hakiki yang selamanya dilalui
dengan berbagai pengembaraan panjang yang cukup melelahkan. Akhirnya ia menarik suatu konklusi bahwa
tasawuflah satu-satunya metode yang dapat mengantarkan pada konsepsi kebenaran
sejati. Dalam kaitan ini dia mengatakan, kini aku menyadari seyakin-yakinnya,
para sufilah yang menempuh pada jalan Allah swt, jalan mereka adalah
sebagus-bagusnya jalan, cara yang mereka tempuh adalah yang palig benar, akhlak
mereka adalah akhlak yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli hikmah
(kebijaksanaan) dan para ahli pikir serta ilmu para ulama yang berpegang pada
syari’at berkumpul untuk mengganti jalan dan akhlak yang lebih baik dari pada
jalan para sufi mereka tidak akan mampu. Karena gerak dan diam mereka, baik
lahir atau batin dipetik dari cahaya kenabian.
Dari tasawuf inilah al-Ghazali memperoleh cahaya yang
diturunkan Allah ke dalam dirinya, itulah yang membuat dirinya memperoleh
keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini al-Ghazali pernah mengatakan, cahaya itu
adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa
(kasyaf) atau pembuakaan tabir bergantung pada argumen-argumen sebenarnya telah
mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas. Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Allah ke dalam hati sanubari seseorang. Dengan keyakinan
yang dipegang al-Ghazali mengenai ajaran sufi itu, maka pada tahun 488/1095 M
al-Ghazali mendadak meninggalkan Baghdad menuju Damaskus di Siria untuk
menjalankan cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya selama berada di
Baghdad.
Dia meninggalkan keluarga dan jabatan yang dipangkunya
berikut kehidupan mewahnya, menuju hidup sebagai seorang sufi yang faqir dan
zuhud terhadap dunia. Sebagaimana dikatakan al-Ghazali sendiri dalam bukunya, al-Munqidz,
di Syam (Damaskus), aku tinggal kira-kira dua tahun melakukan uzlah (menyendiri
untuk tafakkur), khalwat (mengasingkan diri di tempat sunyi), riyadlah (latihan
diri), dan mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu), menurut tasawuf yang pernah
aku pelajari, semua itu untuk menjernihkan batin, supaya mudah berdzikir kepada
Allah swt sebagaimana mestinya. Lama aku mneyendiri di masjid kota Damsyiq, di
atas menara sepanjang hari dengan pintu tertutup. Dari Damsyiq aku pergi bait
al-Maqdis, di sana setiap hari aku masuk ke Qubbat al-Salva dan tinggal di situ
dengan pintu tertutup. Akhirnya timbullah keinginan di hatiku untuk menunaikan
ibadah haji, berziarah ke Mekkah, Madinah dan makam Rasulullah saw, yaitu
setelah berziarah ke makam al-Khalil Nabi Ibrahim as. Faktor yang menyebabkannya adalah bersifat
psikologis, karena di puncak karir intelektualnya dia telah mengalami perkembangan
intelektual yang unik. Aktivitas sufi ini dijalani al-Ghazali selama kurang
lebih 10 atau 11 tahun.
Seperti yang dikutip M. Amin Abdullah dari kitab al-Munqidz, bahwa bagi al-Ghazali sendiri doktrin mistik yang sangat menyentuh petunjuk moral bukanlah secara keseluruhan merupakan hal yang baru bagi al-Ghazali, namun dia hanya mengambil alih doktrin mistik ini dari para sufi pendahulunya. Dia sendiri menyebutkan bahwa dia telah membaca buku-buku sufi, seperti Qut al-Qulub oleh Abu Thalib al-Makki (w. 386/996), karya-karya dari haris al-Muhasibi (w. 243/857), al-Junaid (w. 298/910) al-Sibli (w. 334/945), dan Abu Yazid al-Bisthami (w. 261/875). Dengan demikian, ajaran sufi yang dipegangi dan diyakini al-Ghazali tidak bisa terlepas dari pengaruh para sufi ssebelumnya.
Walaupun begitu, al-Ghazali adalah seorang sufi yang selalu peduli dengan lingkungan yang mengitarinya, dan dia merasa bertanggung jawab atas keadaan masyarakat yang mengelilinginya.
Seperti yang dikutip M. Amin Abdullah dari kitab al-Munqidz, bahwa bagi al-Ghazali sendiri doktrin mistik yang sangat menyentuh petunjuk moral bukanlah secara keseluruhan merupakan hal yang baru bagi al-Ghazali, namun dia hanya mengambil alih doktrin mistik ini dari para sufi pendahulunya. Dia sendiri menyebutkan bahwa dia telah membaca buku-buku sufi, seperti Qut al-Qulub oleh Abu Thalib al-Makki (w. 386/996), karya-karya dari haris al-Muhasibi (w. 243/857), al-Junaid (w. 298/910) al-Sibli (w. 334/945), dan Abu Yazid al-Bisthami (w. 261/875). Dengan demikian, ajaran sufi yang dipegangi dan diyakini al-Ghazali tidak bisa terlepas dari pengaruh para sufi ssebelumnya.
Walaupun begitu, al-Ghazali adalah seorang sufi yang selalu peduli dengan lingkungan yang mengitarinya, dan dia merasa bertanggung jawab atas keadaan masyarakat yang mengelilinginya.
Di saat konsentrasi mistisnya memuncak, dia merasa terusik
dengan persoalan-persoalan di sekitar, dekadensi moral dan amal muncul di
mana-mana, baik yang terjadi dikalangan ummat maupun ulama. Keadaan ini yang
kemudian menggugah al-Ghazali untuk berperan aktif dan mengobati
penyakit-penyakit rohani yang diderita oleh umat pada waktu itu. Sehingga pada tahun 499/1106 M, timbul
kesadaran baru dalam dirinya bahwa dia harus keluar dari uzlah dan zawiyah
(tempat khalwat sufi), karena terjadinya dekadensi moral dan amal di kalangan
umat bahkan sampai ke kalangan ulama, sehingga diperlukan penanganan serius
untuk menginjeksinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhrul Mulk
(putra Nidzam al-Mulk) untuk ikut mengajar lagi di madrasah Nidzamiyah di
Nisyapur. Di sini dia tidak lama mengajar, kemudian kembali ke Thus, tempat
lahirnya. Di Thus ini dia membangun sebuah madrasah untuk mengajar sufisme dan
teologi dan membangun sebuah khanqah untuk tempat praktikum para sufi di
samping rumahnya. Akhirnya pada tanggal 14 jumadil akhir 505H atau tepatnya 19
Desember 1111 M, al-Ghazali meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
B. Corak Tasawuf al-Ghazali
Corak tasawuf dalam dunia sufi memang bermacam-macam ragam,
pandangan, dan corak yang muncul. Namun kesemua pendapat yang dikemukakan
berada pada satu tujuan. Yang berbeda barangkali adalah terletak pada sudut
pandang yang mereka pakai. Abu al-Wafat al-Ghanimi al-Taftazani misalnya,
memandang bahwa corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi itu ada dua;
pertama, corak tasawuf sunni, dimana para pengikut memagari tasawuf mereka
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah
mereka dengan keduanya; kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para
pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak
dari keadaan fana menuju pada penyatuan tentang terjadinya penyatuan ataupun
hulul.
Said Agil Siradj juga melihat bahwa corak tasawuf pada
dasarnya ada dua; pertama, tasawuf sunni, yaitu tasawuf yang mempunyai karakter
dinamis, karena selalu mendahulukan syari’at. Seseorang tidak akan mencapai
hakikat bila tidak melalui syari’at. Sedangkan proses pencapaian kepada hakikat
itu harus melalui maqamat (terminal-terminal). Dzun Nun al-Misri (w. 245 H)
menyebutkan empat maqam, lalu berkembang menjadi tujuh maqam, yaitu taubat,
zuhud, wara, faqir, sabar, tawakkal,dan ridla. Bahkan thariqat Qadiriyah
menyebutkan empat puluh maqam.
Dalam melewati suatu maqam menuju maqam yang lain, seseorang
akan mendapati suatu kondisi efek (baca hal), seperti khauf, raja, fana, fana
al-fana dan seterusnya; dan kedua, tasawuf falsafi, dikatakan falsafi karena
konteks (maudhu)nya sudah memasuki wilayah ontologi (ilm al-kaun), yakni
hubungan dengan alam semesta (kosmologi), sehingga wajarlah jika jenis tasawuf
ini berbicara masalah emanasi (al-faidl), inkarnasionisme (hulul), persatuan
ruh Tuhan dengan ruh manusia (ittihad), keesaan (wihdat), dan seterusnya. Kemudian bagaimanakah dengan corak tasawuf
yang dikembangkan al-Ghazali, termasuk tasawuf sunni ataukah falsafi? Dalam
kaitan ini, Simuh misalnya mengatakan, bahwa dengan bukunya, ihya ulumiddin al-Ghazali
menuguhkan suatu ajaran konkrit, penyelarasan ajaran tasawuf dengan syari’at.
Tidak ada buku yang luas dan indah dalam upaya menyelaraskan tasawuf dengan
syari’at selain ihya ulumiddin.
Mengutamakan perkembangan batin tanpa mengindahkan
aturan-aturan lahir, laksana kuda yang tanpa kendali, akan terjerumus ke dalam
kesesatan. Pengalaman tasawuf tanpa pedoman dan alat pemersatu syari’at akan
membawa chaos kerohanian yang memecah umat manusia menjadi beratus-ratus bahkan
ribuan aliran. Hal ini berarti menyimpang dari tujuan tasawuf semula.
Bertasawuf adalah untuk memperindah pengalaman beragama, dan bukan untuk
merusaknya. Sepertinya Simuh lebih condong kepada pendapat yang mengatakan
bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi yang menganut corak sunni, karena dalam
realitasnya, al-Ghazali telah memformulasikan pandangan-pandangannya yang tertuang
dalam karya besarnya, ihya’ulumiddin yang terdiri dari empat jilid. Jilid I dan II berisi ajaran syari’at dan
akidah disertai dasar-dasar ayat suci al-Qur’an dan al-Hadis beserta
penafsirannya, dibahas pula bagaimana tingkat-tingkat pengalaman syari’at yang
sempurna, baik lahir maupun batin.
C.
Pengaruh Tasawuf al-Ghazali di Dunia
Al-Ghazali adalah seorang teolog, filosof dan juga seorang
sufi. Tidak sedikit hasil pemikiran-pemikirannya yang dijadikan rujukan bagi
kalangan intelektual muslim maupun non-muslim. Hal ini sebagaimana diungkapkan
Yusuf Qardlawi bahwa sebelum al-Ghazali, terdapat para tokoh (aimmat) Islam,
seperti al-Imam al-Haramain, Qadli al-Baqillani, Abu al-Hasan al-Asy’ari,
semuanya adalah tokoh intelektual terkemuka di zamannya, namun pengaruh mereka
hanya terbatas. Adapun al-Ghazali adalah salah satu tokoh alumni madrasah yang
dibina dan dipimpin oleh mereka dalam menyebarkan ilmu dan
pemikiran-pemikirannya. Dari pernyataan di atas, nampaknya kemasyhuran
guru-guru al-Ghazali tidak bisa dilupakan begitu saja dari kemasyhuran
al-Ghazali itu sendiri.
Adapun karya tulis al-Ghazali dalam bidang tasawuf yang
sangat besar pengaruhnya terhadap generasi berikutnya, bahkan sering dijadikan
rujukan sampai saat ini, anatara lain adlah ihya’ulumiddin, bidayat al-hidayah,
misykat al-anwar, dan sebagainya. Terutama oleh golongan Sunni. Sampai-sampai
ada yang mengatakan bahwa kekayaan ilmu yang ditinggalkan al-Ghazali yang dianggap
lengkap setelah al-Qur’an dan al-Hadis adalah ihya’ulumiddin (qad al-ihya
yakunu Qur’an).
Hujjat al-Islam, Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh yang
sangat besar pengaruhnya bukan hanya di dunia Islam namun juga di Eropa. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Pacius, bahwa pengaruh al-Ghazali memang cukup
luas di kalangan pemuka teolog Yahudi yang menjadikannya sebagai tempat rujukan
dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya. Bahkan di Indonesia sendiri,
al-Ghazali dijadikan idola dalam bidang tasawuf. Setiap kali membicarakan
persoalan tasawuf, hampir bisa dipastikan bahwa nama al-Ghazali selalu muncul.
Sampai-sampai di kalangan NU al-Ghazali dijadikan madzab resminya dalam bidang tasawuf,
di samping Junaid al-Bagdadi.
Hal demikian ternyata mendapat perhatian serius bagi Simuh,
yang pernah mengatakan bahwa sesudah masa al-Ghazali muncul gerakan-gerakan
tahriqah yang ribuan jumlahnya, dan hal ini bisa mengubah citra tasawuf dari
gerakan cendekiawan menjadi gerakan rakyat. Di tangan masyarakat awam
pengalaman tasawuf tidaklah dapat dijaga kemurniannya, ia bercampur dengan
ajaran yang serba magis dan klenik serta berasimilasi dengan tradisi-tradisi
kepercayaan masa jahiliyah yang telah lama berkembang di tempat-tempat ajaran
tasawuf. Gerakan tasawuf menjelma menjadi ordo-ordo thariqah yang sulit
dikendalikan dengan batas-batas tuntunan syari’at.
BAB
III
KESIMPULAN
Perjalanan panjang yang ditempuh al-Ghazali dalam meniti
karirnya sebagai seorang sufi yang arif memang cukup melelahkan. Dengan jiwa
kesabaran, ketabahan, keuletan, ketekunan, keberanian, dan istiqomah yang imilkinya, ternyata telah berhasil menemukan
jalan menuju kebenaran sejati yang datang dari Allah melalui hidayah-Nya (nur
al-Allah). Al-Ghazali telah berhasil
mempertemukan antara ajaran syari’at dengan hakikat dengan tidak memandang
berat sebelah antar keduanya. Dengan tasawuf sunninya, ternyata sangat relevan
dan elegan dengan perkembagan zaman. Karena tasawuf sunni al-Ghazali ini selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai syar.iy dan haqiqy, ilmy dan amaly (teori dan
praktek).
Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup
sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta
diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan
garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu.
Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa;
yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada
Alquran dan Sunnah. Dan yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang
siapa yang mengetahui keseluruhan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu
yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian Alquran dan
Sunnah. Namun, realitasnya yang ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw.
seperti sikap Zuhud, Qona'ah, Taubat, Rido, Sabar, dll. Kumpulan dari
sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum
dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qona'ah,
taubat, muraqabatullah, 'iffah, dll. kita boleh memberi nama untuk sederet
istilah itu dengan nama Tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jami, Abd al-Rahman, Nafahat
al-Uns min Hadarat al-Quds: pancaran kaum sufi, Kamran As’ad
Irsyady,ed. Bioer R. Soenardi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Syukur, Amin, Menggugat
Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Siregar, Rivay, Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000.
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar