Daftar Blog Saya

Kamis, 17 Mei 2012

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


BAB I
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A.                HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA SECARA IDEOLOGIS
Hubungan agama dan negara secara ideologis pertama-tama harus diletakkan pada porsinya yang benar. Yaitu sebagai pemikiran cabang tentang kehidupan, yang lahir dari pemikiran mendasar  tentang alam semesta , manusia, dan kehidupan. Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama dan negara pertama-tama harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut. Yang dimaksut pemikiran mendasar tersebut adalah pemikiran menyeluruh tentan alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang  apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia sesudahnya. Pemikiran mendasar tentang kehidupan dunia ada tiga  macam yakni aqidah sosialisme, kapitalisme, dan aqidah islamiah.
1.                  Aqidah Sosialisme
aqidah sosialisme adalah materalisme yang menyatakan bahwa dunia ini tidak lain terdiri dari dan tergantung pada benda atau material. Dengan demikian sosialisme mempunyai hubungan yang dapat di istilahkan sdebagai hubungan yang negtif, dalam arti sosialisme telah menafsirkan secara mutlak eksisten dan pengaruh agama dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
2.                  Aqidah Kapitalisme
Aqidah kapitalisme adalah pemisah agama dari kehidupan atau sekularisme. Sekularisme dapat di artikan sebagai sewbuah system doktrim dan praktik yang menolak bentuk apapun dari ke imanan dan upacara ritual keagamaan atau sebagai sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran tidak boleh memasuki fungsi Negara, khususnya dalam pendidikan public.
Berdasrkan aqidah kapitalisme, tormulasi hubungan agama dan Negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hungan Negara secara individual dalam wilayah privat antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak akan terwujud secara institisional dalam konstitusin atau perundangan Negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
3.                  Aqidah Islamiyah
Aqidah islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, hari akhir  dan takdir Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologis islam yang darinya terlahir sebagai pemikirana dan hokum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Negara.
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum islam tanpa kecuali harus di terapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanyaiman dan aqidah islamiyah. Dan karena hukum-hukum islam ini tiadak dapat di terapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi Negara, maka keberadaan agama dalam islam adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, formolasi hubungan agama dan Negara dalam pandangan islam dapat di istilahKn sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan Negara agar agama dapat di terapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa Negara adalah  suatu cacat yang akan menimbullkan  reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tidak dapat dipisahkan dari Negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui Negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenab undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Sejalan dengan prinsif islam bahwa agama dan Negara itu tidak mungkin dipisahkan, juga tidak mengherankan bila kita dapati bahwa islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan Negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang di kenal dengan sebutan khalifah dan imamah.
B.                HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM PANCASILA DAN UUD 1945
Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa pasal 29 ayat 1 uud 1945 serta penetapan ketuhan yang maha esa sebagai sila pertama dalam pancasila mempunyai makna bahwa pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperralisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam pancasila ketuhanan yang maha esa menjadi faktor penting untuk memper erat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan perhomatan terhadap nilai-nilai ketuhanan yang maha esa.
Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa juga harus dimaknai bahwa Negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak ketuhanan yang maha esa seperti komunisme dan atheism. Karena itu ketetapan MPRS No. XXX tahun 1966 tentang larangan setiap kegiatan untuk meyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komuisme / marxisme, leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memelyul agamanya masing-masing. Bermakna bahwa Negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama sebaliknya, Negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama.
Negara Indonesia merupakan Negara agamis hal ini dapat dilihat dari :
1.                  pada alinea ke tiga pembukaan UUD yang menyebut “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2.                  Pasal 9 UUD yang mewajibkan presiden/wakil presiden bersumpah menurut agamnya.
3.                  Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukkan peradilan agama dibawah mahkamah agung.
4.                  Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang di tetapkan dengan undang-undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta serta penghormatan atas hak-hak orang lain dan untuk memenuhi tututan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilal-nilai agama, keamanan, dan keteertiban umum dalam satu masyarakat yang demokratis.
5.                  Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa.”
6.                  Pasal 31 ayat (3) UUD “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.”
7.                  Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”pemerintah mengajukan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Negara agamis disini di artikan sebagai Negara yang berupaya mengaplikasikan semangat ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsif ketuhanan yang maha esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsif ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara, agama, dan pemeluk agama (yang nota ene juga warga Negara) merupakan mata rantai yang tidak dapat di terpisahan satu sama lain.
Agama-agama dalam Negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsif ketuhanan yang maha esa, sehingga langkah-lanngkah yang dilakukan agama-agama itu tidajk bertentangan dengan langkah-langkah Negara yang juga berdasarkan pada “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa”

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata (edt), problematika politik isla Indonesia,Penerbit PT, Grasindo, Jakarta, 2002
E.R Alexander, Why Planning Vs. Markets Is An Oxymoron:Asking The Rught Question, Planning & Markets, University of Southern California, Los Angeles, 2000
A. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, MedianPresindo Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar