BAB
I
HUBUNGAN
AGAMA DAN NEGARA
A.
HUBUNGAN
AGAMA DAN NEGARA SECARA IDEOLOGIS
Hubungan
agama dan negara secara ideologis pertama-tama harus diletakkan pada porsinya
yang benar. Yaitu sebagai pemikiran cabang tentang kehidupan, yang lahir dari
pemikiran mendasar tentang alam semesta
, manusia, dan kehidupan. Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama dan negara
pertama-tama harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut. Yang dimaksut
pemikiran mendasar tersebut adalah pemikiran menyeluruh tentan alam semesta,
manusia, dan kehidupan, serta tentang
apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta
hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia sesudahnya.
Pemikiran mendasar tentang kehidupan dunia ada tiga macam yakni aqidah sosialisme, kapitalisme,
dan aqidah islamiah.
1.
Aqidah Sosialisme
aqidah
sosialisme adalah materalisme yang menyatakan bahwa dunia ini tidak lain
terdiri dari dan tergantung pada benda atau material. Dengan demikian sosialisme
mempunyai hubungan yang dapat di istilahkan sdebagai hubungan yang negtif,
dalam arti sosialisme telah menafsirkan secara mutlak eksisten dan pengaruh
agama dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
2.
Aqidah Kapitalisme
Aqidah
kapitalisme adalah pemisah agama dari kehidupan atau sekularisme. Sekularisme
dapat di artikan sebagai sewbuah system doktrim dan praktik yang menolak bentuk
apapun dari ke imanan dan upacara ritual keagamaan atau sebagai sebuah
kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran tidak boleh memasuki fungsi Negara,
khususnya dalam pendidikan public.
Berdasrkan
aqidah kapitalisme, tormulasi hubungan agama dan Negara dapat disebut sebagai
hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama
dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hungan Negara secara individual
dalam wilayah privat antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat
terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak akan terwujud
secara institisional dalam konstitusin atau perundangan Negara, namun hanya
terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
3.
Aqidah Islamiyah
Aqidah
islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya,
rasul-rasulnya, hari akhir dan takdir
Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologis islam yang darinya terlahir sebagai
pemikirana dan hokum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah islamiyah
telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek
kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Negara.
Berdasarkan
ini, maka seluruh hukum-hukum islam tanpa kecuali harus di terapkan kepada
manusia, sebagai konsekuensi adanyaiman dan aqidah islamiyah. Dan karena
hukum-hukum islam ini tiadak dapat di terapkan secara sempurna kecuali dengan adanya
sebuah institusi Negara, maka keberadaan agama dalam islam adalah suatu
keniscayaan. Oleh karena itu, formolasi hubungan agama dan Negara dalam
pandangan islam dapat di istilahKn sebagai hubungan yang positif, dalam arti
bahwa agama membutuhkan Negara agar agama dapat di terapkan secara sempurna dan
bahwa agama tanpa Negara adalah suatu
cacat yang akan menimbullkan reduksi dan
distorsi yang parah dalam beragama. Agama tidak dapat dipisahkan dari Negara.
Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui Negara yang terwujud dalam
konstitusi dan segenab undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Sejalan
dengan prinsif islam bahwa agama dan Negara itu tidak mungkin dipisahkan, juga
tidak mengherankan bila kita dapati bahwa islam telah mewajibkan umatnya untuk
mendirikan Negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna.
Negara itulah yang di kenal dengan sebutan khalifah dan imamah.
B.
HUBUNGAN
AGAMA DAN NEGARA DALAM PANCASILA DAN UUD 1945
Negara
berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa pasal 29 ayat 1 uud 1945 serta
penetapan ketuhan yang maha esa sebagai sila pertama dalam pancasila mempunyai
makna bahwa pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme
dan imperralisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara
komponen bangsa. Sila pertama dalam pancasila ketuhanan yang maha esa menjadi
faktor penting untuk memper erat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah
bangsa Indonesia penuh dengan perhomatan terhadap nilai-nilai ketuhanan yang
maha esa.
Negara
berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa juga harus dimaknai bahwa Negara
melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak ketuhanan yang
maha esa seperti komunisme dan atheism. Karena itu ketetapan MPRS No. XXX tahun
1966 tentang larangan setiap kegiatan untuk meyebarkan atau mengembangkan faham
atau ajaran komuisme / marxisme, leninisme masih tetap relevan dan kontekstual.
Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memelyul agamanya masing-masing. Bermakna bahwa Negara hanya menjamin
kemerdekaan untuk beragama sebaliknya, Negara tidak menjamin kebebasan untuk
tidak beragama.
Negara Indonesia
merupakan Negara agamis hal ini dapat dilihat dari :
1.
pada alinea ke tiga pembukaan UUD yang
menyebut “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa” sebagai basis pernyataan
kemerdekaan Indonesia.
2.
Pasal 9 UUD yang mewajibkan
presiden/wakil presiden bersumpah menurut agamnya.
3.
Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan
bagi pembentukkan peradilan agama dibawah mahkamah agung.
4.
Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap
orang wajib tunduk pada pembatasan yang di tetapkan dengan undang-undang (UU)
untuk menjamin pengakuan serta serta penghormatan atas hak-hak orang lain dan
untuk memenuhi tututan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilal-nilai
agama, keamanan, dan keteertiban umum dalam satu masyarakat yang demokratis.
5.
Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara
berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa.”
6.
Pasal 31 ayat (3) UUD “pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.”
7.
Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”pemerintah
mengajukan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Negara
agamis disini di artikan sebagai Negara yang berupaya mengaplikasikan semangat
ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya
tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsif ketuhanan yang maha esa ke
hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang
berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan
prinsif ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi,
antara, agama, dan pemeluk agama (yang nota ene juga warga Negara) merupakan
mata rantai yang tidak dapat di terpisahan satu sama lain.
Agama-agama
dalam Negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsif ketuhanan yang maha
esa, sehingga langkah-lanngkah yang dilakukan agama-agama itu tidajk
bertentangan dengan langkah-langkah Negara yang juga berdasarkan pada “Negara
berdasar atas ketuhanan yang maha esa”
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata (edt), problematika politik isla Indonesia,Penerbit PT, Grasindo, Jakarta,
2002
E.R
Alexander, Why Planning Vs. Markets Is An Oxymoron:Asking The Rught Question,
Planning & Markets, University of Southern California, Los Angeles, 2000
A.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, MedianPresindo Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar