BAB I
PENDAHULUAN
Istilah “peradaban
Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah.
Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
“kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah
al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak
orang yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan
culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab)
sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang,
kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat
mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis
dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak
di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban
terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam
Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam
sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa
arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh
bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju.
Bahkan kemajuan
Barat pada mulanya bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui
spanyol. Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah
diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither
Islam kemudian
dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology,
it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah
agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban islam”
adalah “kebudayaan islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan
“kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam islam, tidak seperti pada
masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan
tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta,
rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya
peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri.
Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu
dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam di antaranya Umayah dan
Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya
memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DINASTI
BANI UMAYYAH
1. SEJARAH MUNCULNYA DINASTI BANI UMAYYAH
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah) atau
Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur
Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya;
serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini diambil dari
nama tokoh Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani
Umayyah, yaitu Muawiyah I. Daulah Bani Umayyah (Masa Kemajuan Islam)
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya
berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah Ibn Abi Sufyan
Radhiallahu ‘anhu, dimana pemerintahan yang bersifat Islamiyyah berubah menjadi
monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yaitu setelah al-Hasan bin 'Ali
Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abu
Sufyan Radhiallahu ‘anhu dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada saat
itu sedang dilanda fitnah akibat terbunuhnya Utsman Ibn Affan Radhiallahu
‘anhu, perang jamal dan penghianatan dari orang-orang al-khawarij dan syi'ah.
Sukses kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah Ibn Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhu mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid Ibn Muawiyah
Rahimahullah. Muawiyah Ibn Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhu bermaksud mencontoh
monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah
khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam
pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Para Khalifah yang cukup berpengaruh dari
Bani Umayyah ini adalah:
a. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M),
b. Yazid Ibn Muawiyah,
c. Muawiyah Ibn Yazid,
d. Marwan Ibnul Hakam,
e. Abdullah Ibn Zubair Ibnul Awwam
(Interegnum),
f. Abdul-Malik ibn Marwan (685- 705 M),
g. al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M),
h. Yazid ibn Abdul Malik
i.
Umar
ibn Abdul-Aziz (717- 720 M) dan
j.
Hasyim
ibn Abd al-Malik (724- 743 M).
k. Marwan II Al-Himar.Rahimahumullahu
ajma,in.
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah
Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu ajma’in dilanjutkan
kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah Ibn Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhu,
Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah Radhiallahu ‘anhu dapat
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul.
Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan Rahimahullah. Dia mengirim tentara
menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran
dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik Rahimahullah. Masa pemerintahan
al-Walid Rahimahullah adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah
Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad Rahimahullah, pemimpin
pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara
Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan.
Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota
Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan
dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita
akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abdul-Aziz Rahimahullah,
serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin
oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi Rahimahullah. Ia mulai dengan menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi Rahimahullah terbunuh,
dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di
atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke
tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa
daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah
ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, turkmenia, Uzbek, dan Kirgis
di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani
Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah
Radhiallahu ‘anhu mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga
berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya,
jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul-Malik
Rahimahullah mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada
tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul-Malik
Rahimahullah juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik Rahimahullah diikuti oleh
puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik Rahimahullah (705-715 M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun
panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang
humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan
raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai
daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap
stabil. Karena Muawiyah Radhiallahu ‘anhu dianggap tidak mentaati isi
perjanjiannya dengan al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma ketika dia naik
tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah
Radhiallahu ‘anhu diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid Rahimahullah sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid
Rahimahullah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid Rahimahullah kemudian mengirim surat kepada
gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya.
Dengan cara ini, semua orang terpaksa
tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah Ibn Zubair Ibnul Awwam Radhiallahu
‘anhuma ajma’in. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’
al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan
terhadap Bani Umayyah dimulai oleh al-Husein ibn Ali Radhiallahu ‘anhuma. Pada
tahun 680 M, ia berangkat dari Mekkah ke Kufah atas tipu daya golongan Syi'ah
yang ada di Irak. Ummat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid Rahimahullah.
Mereka berusaha menghasut dan mengangkat al-Husein Radhiallahu ‘anhuma sebagai
khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karballa, sebuah daerah di
dekat Kufah, tentara dan seluruh keluarga Husein Radhiallahu ‘anhuma kalah dan
al-Husein Radhiallahu ‘anhuma sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan
dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karballa.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam
dengan sebab terbunuhnya Husein Radhiallahu ‘anhuma. Gerakan mereka bahkan
menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang
dipelopori kaum Syi'ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan
al-Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. al-Mukhtar (yang pada akhirnya
mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu
umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada
masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. al-Mukhtar terbunuh
dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair
Radhiallahu ‘anhuma. Namun, ibn Zubair Radhiallahu ‘anhuma juga tidak berhasil
menghentikan gerakan Syi'ah.
Abdullah ibn Zubair Radhiallahu ‘anhuma
membina gerakan oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap
Yazid Rahimahullah. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka
sebagai khalifah setelah al-Husein ibn Ali Radhiallahu ‘anhuma terbunuh.
Tentara Yazid Rahimahullah kemudian mengepung Madinah dan Makkah. Dua pasukan
bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena
Yazid Rahimahullah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan
Abdullah ibn Zubair Radhiallahu ‘anhuma baru dapat dihancurkan pada masa
kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj
ibn Yusuf ats-Tsaqafi berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya
meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka'bah diserbu. Keluarga Zubair Radhiallahu ‘anhuma
dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair Radhiallahu ‘anhuma sendiri
dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692
M.
Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan
anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan.
Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi
pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah
kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan
wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol
(andalus). Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul-Aziz Rahimahumullah (717-720 M). Ketika
dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan
negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah
perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam
negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menyadarkan
golongan Syi'ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Zakat diperingan.
Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal Umar ibn Abdul-Aziz
Rahimahullah, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn
Abdul-Malik Rahimahullah (720- 724 M). Namun Sayang penguasa yang satu ini
terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada
zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn
Abdul-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah
berikutnya, Hisyam ibn Abdul-Malik Rahimahullah (724-743 M). Bahkan di zaman
Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam
perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah
dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd
al-Malik Rahimahullah adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan
tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya
mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik
Rahimahullah, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah
tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.
Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang
bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan II bin Muhammad al-Himar
Rahimahullah, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir,
ditangkap dan dibunuh di sana.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu
antara lain adalah:
a. Sistem pergantian khalifah melalui garis
keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih
menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di
kalangan anggota keluarga istana.
b. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani
Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa
Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij
terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan
akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani
Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan
pemerintah.
c. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan
(Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah
dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
d. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah
juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak
khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
e. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan
dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh
keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan
Bani Umayyah. Wallahul Musta,’an.
2. MASA BERKUASANYA DINASTI BANI UMAYYAH DI
ANDALUS
a. Masuknya Islam ke Spanyol (Andalus) pada
Masa Dinasti Bani Umayyah
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman
khalifah Al-Walid Rahimahullah (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani
Umayyah yang berpusat di Damaskus, dimana Ummat Islam sebelumnya telah
mengusasi Afrika Utara. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga
pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif ibn Malik,
Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair Rahimahullahum ajma’in.
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman
Khalifah Al-Walid Rahimahullah (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani
Umayyah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah
menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari
dinasti Bani Umayah, Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di
zaman Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan Rahimahullah (685-705 M). Khalifah Abd
al-Malik Rahimahullah mengangkat Hasan ibn Nu'man al-Ghassani Rahimahullah
menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al-Walid, Hasan ibn Nu'man
Rahimahullah sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair Rahimahullah. Di zaman
al-Walid itu, Musa ibn Nushair Rahimahullah memperluas wilayah kekuasaannya
dengan menduduki Aljazair dan Maroko.
Selain itu, ia juga menyempurnakan
penaklukan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa Barbar di
pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan
membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai
menjadi salah satu propinsi dari Khilafah Bani Umayah memakan waktu selama 53
tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan
Radhiallahu ‘anhu) sampai tahun 83 H (masa al-Walid Rahimahullah). Sebelum
dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung
yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gothik. Kerajaan
ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan
Islam. Setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat Islam mulai
memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan Spanyol. Dengan demikian, Afrika
Utara menjadi batu loncatan bagi kaum muslimin dalam penaklukan wilayah
Spanyol.
Dalam proses penaklukan spanyol terdapat
tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan
pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn
Nushair Rahimahullahum ajma’in. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan
penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa
itu dengan satu pasukan perang, lima ratus orang diantaranya adalah tentara
berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Dalam
penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan
kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya.
Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan
Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar
untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M
mengirim pasukan ke spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad Rahimahullah.
Thariq ibn Ziyad Rahimahullah lebih banyak
dikenal sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya
lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung
oleh Musa ibn Nushair Rahimahullah dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim
Khalifah al-Walid Rahimahullah. Pasukan itu kemudian menyeberangi Selat di
bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad Rahimahullah. Sebuah gunung tempat pertama kali
Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu
secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang
bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq Rahimahullah
dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada
dan Toledo (ibu kota kerajaan Gothik saat itu). Sebelum Thariq Rahimahullah
berhasil menaklukkan kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn
Nushair Rahimahullah di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan
sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang.
Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000
orang.
Kemenangan pertama yang dicapai oleh
Thariq ibn Ziyad Rahimahullah membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih
luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair Rahimahullah merasa perlu melibatkan
diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq.
Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat itu, dan satu
persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa Rahimahullah
berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan
penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di
Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di
Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya
muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz Rahimahullah tahun
99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar
pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada
Al-Samah Rahimahullah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada
tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman ibn
Abdullah al-Ghafiqi Rahimahullah. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordreu,
Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, diantara
kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan
ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Sesudah itu, masih juga terdapat
penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M,
dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsia, Sardinia, Creta,
Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Sicilia juga jatuh ke tangan Islam di zaman
Bani Umayah. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum Muslimin yang
geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh
Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian penting
dari Italia. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah.
Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang
menguntungkan.
Yang dimaksud dengan faktor eksternal
adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa
penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi
negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol
terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan
dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang
dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama
lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari
penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia
disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas,
sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan
persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan
juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan
dengan itu Amer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika
(Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan,
keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam
keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi
lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan
masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting
menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri
Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M.
Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic
berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan
ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam
keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada di bawah pemerintahan
Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian
juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana
transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan
kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan
antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak
mendapat perawatan.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan
keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi
terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang
dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Ghoth adalah ketika Raja Roderick
memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang
saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja.
Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza.
Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick.
Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu
terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa
wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan
mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan
pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa
Rahimahumullah.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya
adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak
lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang Yahudi yang selama ini
tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan
kaum Muslimin.
Adapun yang dimaksud dengan faktor
internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh
pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol
pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak,
bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam
menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang
ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong
menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi
kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di san
b. Perkembangan Islam di Spanyol (Andalus)
pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Perkembangan Islam di Spanyol yang
berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, Islam memainkan peranan yang sangat
besar. Sejarah panjang yang dilalui Umat Islam di Spanyol ini dapat dibagi
menjadi enam periode, dimana tiap periode mempunyai corak pemerintahan dan
dinamika masyarakat tersendiri. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah
Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan
peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad
sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol, itu dapat dibagi menjadi
enam periode, yaitu :
1) Periode Pertama (711-755 M).
Pada periode ini Spanyol berada di bawah
pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di
Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai
secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun
dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite
penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu, terdapat
perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang
berpusat di Kairwan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak
menguasai daerah Spanyol ini.
Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali
pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara.
Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara Barbar asal
Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang
terus-menerus bersaing, yaitu suku Quraisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab
Selatan). Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik politik, terutama
ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu
tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu
yang agak lama.
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa
musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang
memang tidak pernah mau tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus
memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu
mengusir Islam dari bumi Spanyol. Karena seringnya terjadi konflik internal dan
berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum
memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini
berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755
M.
2. Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini. Spanyol berada di bawah
pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak
tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol
tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (Yang Masuk ke Spanyol). Dia
adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas
ketika yang terakhir ini berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus.
Selanjutnya, ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa
Spanyol pada periode ini adalah Abdurrahman al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I,
Abdurrahman al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad, dan
Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai
memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang
peradaban. Abdurrahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah
di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I dikenal berjasa dalam menegakkan hukum
Islam, dan Hakam I dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah
yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdurrahman al-Ausath
dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai masuk
pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al-Aushath. Ia mengundang para
ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu
pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan
kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu
dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan. Namun, Gereja
Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu,
karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen
diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen.
Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja
baru, biara-biara disamping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak
dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada
instansi militer.
Gangguan politik yang paling serius pada
periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada
tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Disamping
itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting
diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang
berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara
orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi.
2) Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari
pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya
"raja- raja kelompok" yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaij.
Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah,
penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada
Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, Khalifah daulat Bani Abbas di Baghdad
meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan
ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam
kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk
memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150
tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M.
Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu
Abdurrahman al-Nashir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II
(976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol
mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di
Baghdad. Abdurrahman al-Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya
memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan
pendiri perpustakaan.
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah
di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh
karena itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M,
Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia
seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan
wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan
saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar
al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya
al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi,
setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki
kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya
makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M
khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan
itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M,
Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika
itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di
kota-kota tertentu.
3) Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi
lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan
atau Al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova,
Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville.
Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern.
Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai
itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan
kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya
orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan.
Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus
berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan
untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
4) Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun
masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang
dominan, yaitu kekuasaan daulah Murabithun (860-1143 M) dan daulah Muwahhidun
(1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan politik
yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia
berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakisy. Ia masuk ke
Spanyol atas "undangan" penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah
memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari
serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada
tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia.
Karena perpecahan di kalangan raja-raja
muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil
untuk itu. Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja
yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika
Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh daulah Muwahhidun. Pada masa daulah
Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. Di
Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali
dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M
penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini.
Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke
Spanyol di bawah pimpinan Abdul Mun'im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota
muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya.
Untuk jangka beberapa dekade, daulah ini
mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan
tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212
M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa.
Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih
untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan
Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi
demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang
semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan
Seville jatuh tahun 1248 M. Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuatan
Islam.
5) Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di
daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali
mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nashir. Akan tetapi, secara
politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang
merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan
orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa
tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai
penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan.
Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn
Sa'ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella
untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang
sah dan Abu Abdullah naik tahta.
Tentu saja, Ferdinand dan Isabella yang
mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup
merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol.
Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan
pada akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan
Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan
kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggal Spanyol. Pada tahun 1609
M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
c. Kemajuan Peradaban Islam di Spanyol
(Andalus) pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Umat Islam di Spanyol telah mencapai
kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya
membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, terutama
dalam hal kemajuan intelektual. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan
Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak
prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian
dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks, yaitu:
1)
Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negeri yang subur.
Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya
banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan),
al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang
berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara
Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
a) Filsafat
Islam di Spanyol
telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah
Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan
Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa
Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M). Atas inisiatif
al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam
jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof
besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat
Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan
Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragossa, ia pindah ke Sevilla dan Granada.
Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda.
Seperti al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat
etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama
kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil
di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak
menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Bagian akhir abad
ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di
gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir tahun
1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam
menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli
fiqh dengan karyanya Bidayatul- Mujtahid.
b) Sains
IImu-ilmu kedokteran, musik, matematika,
astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas
termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan
pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu
astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan
berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan
jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah
ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja'far dan saudara
perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah
Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia
(1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan
Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibnul
Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari
Tunisia adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat
tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama
besar dalam bidang sains.
c) Fiqih
Dalam bidang fiqih, Spanyol Islam dikenal
sebagai penganut madzhab Maliki. Yang memperkenalkan madzhab ini di sana adalah
Ziyad ibn Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang
menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya
diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa'id al-Baluthi dan
Ibn Hazm yang terkenal.
d) Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan suara, Spanyol
Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan Ibn Nafi' yang dijuluki
Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil
mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu
yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan
juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
e) Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh
orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor-duakan
bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab,
baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn
Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibnul-Hajj, Abu Ali
al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan
kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqd al-Farid
karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam,
Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
2)
Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang
mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan
dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru
diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya.
Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air
didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan
hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air,
waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hydrolik
itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang
dinamakan naurah (Spanyol: Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga
memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Industri, disamping pertanian dan
perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Diantaranya
adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar. Namun
demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan
gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan
taman-taman. Diantara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota
az-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun,
masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.
a)
Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum
Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota
ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir
di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam
itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota
berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap
istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana
Damsyik. Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova.
Menurut ibn al-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus
kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat
sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang
indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran
air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km.
b)
Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir
ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir
Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan
Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.
Istana al-Hambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian
arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah
indahnya. Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang
dengan kota dan istana az-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain.
d. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan Peradaban
Islam di Spanyol (Andalusia) pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya
penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan
kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman
al-Wasith dan Abdurrahman an-Nashir. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin
tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori
kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di
Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad ibn Abdurrahman (852-886M) dan al-Hakam
II al-Muntashir (961-976M).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para
penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut
berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang-orang
Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang
menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat
Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas,
baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama,
komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya
masing masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara
Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan
Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak
sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil
membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat
Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut
kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Muluk
ath-Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu,
bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan
Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan
lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan
satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk ath-Thawa'if
berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih
maju.
e. Pengaruh Peradaban Islam di Eropa pada
Masa Dinasti Bani Umayyah
Spanyol merupakan tempat yang paling utama
bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial,
maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Kemajuan Eropa yang terus
berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan
Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana
peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi
saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama
bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik,
sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa
menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh
meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran
dan sains disamping bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah
pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taqlid dan
menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara
yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan
sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme
Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan
Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja
menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di
Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad
ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venessia tahun 1481, 1482, 1483, 1489,
dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M.
Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms,
dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 M di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam,
termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya
pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di
Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca.
Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya
ilmuwan-ilmuwan muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Toledo.
Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang
sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun
1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan
Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu,
ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti
ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling
banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa
yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan
kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-1 4 M. Berkembangnya
pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab
yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat
kejam, tetapi ia telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa.
Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik
(renaissance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada
abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada
abad ke-18 M.
f. Islam di Spanyol dan Pengaruhnya Terhadap
Renaisans di Eropa pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dalam masa lebih dari tujuh abad
kekuasasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana.
Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan
kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Setelah berakhirnya
periode klasik Islam, ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran, Eropa
bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam
bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam
dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan, kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang
mendukung keberhasilan politiknya.
Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak bisa
dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol Islamlah Eropa
banyak menimba ilmu. Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa
keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting,
menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen banyak
belajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi
"guru" bagi orang Eropa. Karena itu, kehadiran Islam di Spanyol
banyak menarik perhatian para sejarawan.
3. PENYEBAB KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI
BANI UMAYYAH
Beberapa penyebab kemunduran dan
kehancuran Umat Islam di Spanyol di antaranya konflik Islam dengan Kristen,
tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem
peralihan kekuasaan, dan keterpencilan.
a.
Konflik
Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan
islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti
dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan
hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada
perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat
rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan
negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam
dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat,
sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
b.
Tidak
Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf
diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana
politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah
menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka
masih memberi istilah 'ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu
ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab
yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan
dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini
menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, disamping
kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
c.
Kesulitan
Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para
penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat
"serius", sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul
kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan menpengaruhi kondisi politik dan
militer
d.
Tidak
Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan
diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan
Muluk ath-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir
di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan
permasalahan ini.
e.
Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari
dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan
kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang
mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.(Wallahul musta’an).
B. DINASTI ABBASIYAH
1. SEJARAH MUNCULNYA DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama
lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas
al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang
berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal
pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu
digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan
kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi
dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin
menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas
kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini
menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad
bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat
kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok
Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga
dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang
pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M,
Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat,
Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai
berdiri.
2. KEMAJUAN-KEMAJUAN PADA MASA DINASTI
ABBASIYAH :
a.
Dalam
Bidang Sosial Budaya
Sebagai sebuah
dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah
banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat
beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti
bidang-bidang sosial dan budaya.
Diantara kemjuan
dalam bidang sosila budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi
masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif
dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk
memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang
bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara
kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi
Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana,
masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam
pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan
Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad,
Samarra dan lain-lainnya.
Kemajuan juga
terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada mas inilah lahir seorang
sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al
Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka
masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh
terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus
bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan
lain-lainnya.
Selain bidang
–bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada
masa-maa awal pemerinath Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para
khalifah untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu mereka
kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga
tingakat tinggi.
b.
Bidang
Politik dan Militer
Di antara perbedaan karakteristik yang
sangat mancolok anatara pemerinatah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani
Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerinath
Dinasti Bani Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya
perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara pemerinath Dinasti Bani Abbasiyah,
lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban
Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap
merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti
Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi
dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk
departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen
inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan
keamanan.Pembentuka lembaga ini didasari atas kenyataan polotik militer bahwa
pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banayak terjadi pemebrontakan dan
bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasyi
Abbasiyah
c.
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Keberahasilan umat Islam pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan
peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah
terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki tradisi intelektual dan
budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Meraka diberikan
fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan
berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah
ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata
membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasyi ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak
ahli dalam bidang ilmu pengetahaun, seperti Filsafat, filosuf yang terkenal
saat itu antara lain adalah Al Kindi ( 185-260 H/ 801-873 M ). Abu Nasr
al-faraby, ( 258-339 H / 870-950 M ) dan lain-lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban
islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan
sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup
pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq ( w. 152 H / 768 M ).
d.
Ilmu
Agama Islam
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang
berlangsung lebih kurang lima abad ( 750-1258 M ), dicatat sebagai masa-masa
kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak lepas
dariperan serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan kuat, baik
dukungan moral, material dan finansia, kepada para ulama. Perhatian yang serius
dari pemeruntah ini membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini
mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan
dan memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Dianata ilmu pengetahuan
agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu
fiqih dan tasawuf
3. KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH
Setelah berkuasa lebih kurang lima abad (
750-1258 M ), akhirnya Dinasti Abbasiyah mengalami masa-masa suram. Masa suram
ini terjadi ketika para pengusaha setelah Al-Makmun, Al- Mu’tashim dan
Al-Mutawakkil, tidak lagi memiliki kekuatan yang besar, sebab para khalifah
sesudahnya lebih merupakan boneka para amir dan para wajir dinasti Buwaihiyah
dan Salajikah. Para khalifah Abbasiyah pada periode terakhir lebih mementingkan
kepentingan peribadi, ketimbang kepentingan masyarakat umum. Mereka saling
melalaikan tugas-tugas sebagai pemimpin dan kepala negara, bahkan banyak di
antara mereka yang lebih memilih hidup bermewah-mewahan. Pada akhirnya mereka
kehilangan semangat juan untuk menegakan kekuasaan.
Kenyataan ini dipengaruhui denga situasi
politik umat Islam ketika itu. Konflik antra etnis dan suku bangsa sering
terjadi, terutama perseteruan antara bangsa Arab dan bangsa Persia dengan
bangsa Turki. Perseteruan ini terjadi ketika bangsa Turki semakin memiliki
posisi strategis dipemerintahan dan menggeser posisi bangsa Arab dan Persia,
yang merupakan dua suku bangsa yang memiliki peran penting didalam proses
berdirinya pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan khalifah al-
Mutawakkil, pengaruh bangsa Turki semakin kuat, sehingga bangsa Arab dan Persia
merasa cemburu. Sikap anti Turki ini pada akhirnya menimbulkan gerakan
pemberontakan di setiap daerah, yang kemudian masing-masing mendirikan
kekuasaan-kekuasaan lokal.
Dianatara kekuatan lokal yang sangat
berpengaruh dalam proses melemahnay kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah
dikarenakan luasnya wilayah kekuasaan sehingga tidak dapat melakukan kontrol
pemerintah denga baik ke seluruh wilayahnya, sehingga peluang ini dimanfaatkan
oleh penguasa daerah yang jauh dari pemerintah pusat untuk melepaskan diri
menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dianatar kerajaan-kerajaan kecil yang dapat
melepaskan diri adalah Dinasti Buwaihiyah ( 945-1055 M ), Dinasti Salajiqah (
1037-1157 M ). Dinasyi Bani Fathimiyah yang didirikan di Tunisia pada tahun 297-323
H / 909-934 M oleh Al Mahdi. Dinasti ini berkuasa cukup lama, hingga akhirnya
dihancurkan oleh Salahuddin al- Ayyubi. Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh
Idris bin Abdullah ( 172-311 H/
788-932 M ), Dinasti Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab ( 184-296 H/
800-909 M ), Dinasti Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun ( 254-292
H/868-905 M ).
Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh
Muhammad bin Tughj ( 323-358 H/ 935-969 M ), Dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh
Hamdan bin Hamdan ( 293-394 H/ 905-1004 M ), Dinasti Thahriyah, didirikan oleh
Thahir bin Husein ( 205-259 H/ 821-873 M ), Dinasti Samaniyah, didirikan oleh
Saman Khuda ( 261-9-389 H/ 874-999 M ).
Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit
banyak memperlemah kekuasaan dan wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab paling tidak
pemasukan dan pengaruh para khalifah Bani Abbas berkurang. Lama kelamaan, akan
membawa kelemahan, kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.
Persoalan lain yang juga memperlemah
kekuasaan Bani Abbasiyah adalh konflik internal dikalangan Bani Abbas. Konflik
ini dimanfaatkan oleh para pendatang baru, seperti bangsa Turki yang kemudian
menguasai sistem pemerintahan Dinastu Abbasiyah. Bahkan bangsa Turki mendirikan
mendirikan kekuasaan di wilayah pemerintahan Bani Abbasiyah dan menguasi
Baghdad. Ketika para kalifah semakin lemah, baik secara militer atau ekonomi,
para tentara bayaran mendominasi kekuatan, sehingga mereka menciptakan
ketergantunan khalifah kepada tentara bayaran. Ketergantungan ini merupakan salah
satu faktor penyebab melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada saat semua mengalami kelemahan,
kekuatan baru datang dan berusaha menghancurkan Dinasti Abbasiyah, yaitu
kekuatan bangsa Mongol. Dibawah pimpinan hulaghu Khan, kota Baghdad sebagai
pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah diluluh lantakan pada tahun 1258 m.
Serangan bangsa Mongol ini manandai akhir dari masa kekuasaan dinasti
Abbasiyah.
C. DINASTI AYYUBIYAH
1. SEJARAH MUNCULNYA DINASTI AYYUBIAH
Ayyubiyah
adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M.
Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M (Glasse,
1996:143). Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang
menjadi abdi dari putra Zangi bernama Nuruddin. Keberhasilannya dalam perang
Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya,
Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap
mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah
tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni.
Penaklukan
atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi pembentukan
madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah
pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan Madzhab Madzhab
Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya
untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Najmudin Ayub adalah seorang yang
berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima Turki 1138 M, di Mosul
dan Aleppo, dibawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian juga adiknya
Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil mengusir
raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir.
Kedatangan
Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk menggusir Almaric
yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal 1169 M digantikan Shalahuddin
(kaponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati
simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat
menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin
menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan
secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Keberhasilan
Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam
mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk
ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai
Yaman 1173 M. Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib
yang menduduki Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir
Hulu. Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang
akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul.
Akhirnya pada
1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah
Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang
tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan
lain. Ia juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan
bukit Muqattam.
Pasukannya
juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan
perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan
sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna
merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de
Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak
merubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat
perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Sampai ia
meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh,
kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota.
Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya
al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan
memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan al-Kamil
Dinasti Ayubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mendapat tekanan dari
Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al Kamil mengembalikan
Jerusalem kepada kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan
ekonomi besar bagi Mesir dan Siria. Hiduplah kembali perdagangan dengan
kekuatan KRISTEN Mediterrania.
Setelah
al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayubiyah terkoyak oleh
pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6
dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St. Louis ditangkap, tetapi
kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini
secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayubiyah keseluruhan.
a. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Salahuddin
·
Melancarkan
jihad terhadap tentara-tentara Salib di Palestina
·
Mempersatukan
tentara Turki, Kurdi, dan Arab di jalan yang sama. Dari Mesir, Shalahuddin juga
dapat menyatukan Syiria dan Mesopotamia menjadi sebuah kesatuan negara Muslim.
Pada tahun 1174 ia merebut Damascus, kemudian Alippo tahun 1185, dan merebut
Mosul pada 1186.
Setelah kukuh kekuasaannya
Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds
(Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini berarti Jerussalem
sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang Frank
tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah
dilakukan pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 –
1192 M, namun tidak berhasil mengubah kedudukan Salahuddin. Setelah perang
berakhir, Salahuddin memindahkan pusat pemerintahan ke Damascus.
b. Perjuangan Setelah Salahuddin
Perjuangan
Shalahuddin dalam merealisasikan tujuan-tujuan utamanya yaitu mengeluarkan kaum
Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat Islam, telah
menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan
dimakamkan di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah.
Sebelum
meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota keluarga.
Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan
Al-kamil, sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan
aktivis Shalahuddin memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan
orang-orang Frank.
Setelah
kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan
Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi
sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai
dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun
demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas
kekeluargaan .
Mesir
diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem
birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria
melalui distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan sisa-sisa
kekuatan pasukan Salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir
karena kesatuan mulai melemah.
Pada tahun
1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah perjanjian dengan Fedrick II. Ini adalah
puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode damai inilah membawa keuntungan
ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk hidupnya kembali perdagangan
dengan kekuatan-kekuatan KRISTEN Mediterania .
2. KEMAJUAN-KEMAJUAN PADA DINASTI AYYUBIAH
Sebagaimana
Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang
gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu
mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah :
a. Bidang Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa
Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini
ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat
pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar
al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok
hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam
bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di
Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
b. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti
konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang
Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang
kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat
pikiran.
c. Bidang Industri
Kemajuan di
bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih
canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan
pabrik gelas.
d. Bidang Perdagangan
Bidang ini
membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa
terdapat perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan
internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan perdagangan
sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter
d. Bidang Militer
Selain
memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping
itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang
industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
3. KEMUNDURAN DINASTI AYYUBIAH
Sepeninggal
Al-Kamil tahu 1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan
intern. Serangan Salib keenam dapat diatasi, dan pimpinannya, Raja Perancis St.
Louis ditangkap. Namun pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan oleh
sebuah pemberontakan oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh
penguasa terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang pejabat Aybeng
menjadi sultan baru.
Keruntuhan
ini terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir oleh serangan
Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol. Dengan demikian
berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamluk. Dinasti yang mampu
mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.
D. SEJARAH PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA
Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania
yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada tahun 711 M, pasukan Umayyah
yang sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu
Hispania dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari
Kekhalifahan Umayyah di Damaskus.
Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara.
Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete (
711 M ), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada tahun 719 M. Hanya daerah
Galicia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah
itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun
berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732 M). Daerah yang
dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol,
Portugal dan Perancis bagian selatan yang disebut sekarang.
1. Perkembangan Politik Islam Di Andalusia
Pada
awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali Yusuf Al-Fihri (gubernur) yang
ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun
pada tahun 740an M, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya
kekuasaan Khalifah. Dan pada tahun 746 M, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang
saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada
pemerintahan di Damaskus.
Pada tahun
750 M, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut
kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada tahun 756 M, Abdurrahman I
(Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan
gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan
Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian
besar keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang
lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri
maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu
setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba,
yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang
meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba,
terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami
naik-turun politik, itu tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang
berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas
Kordoba saja.
Cucu
Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada tahun 912 M, dan dengan cepat
mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian
barat. Pada tahun 929 M ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga
keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah
di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.
2. Masa Kekhalifahan Umat Islam Di Andalusia
Andalusia -
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid Rahimahullah (705-715
M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, dimana
Ummat Islam sebelumnya telah mengusasi Afrika Utara. Dalam proses penaklukan
Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa
yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair Rahimahullahum
ajma’in.
Tharif
dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang
berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima
ratus orang diantaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal
yang disediakan oleh Julian.
Dalam
penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan
kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya.
Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan
Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar
untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M
mengirim pasukan ke spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad Rahimahullah.
Thariq ibn
Ziyad Rahimahullah lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol karena
pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari
sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair Rahimahullah dan
sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid Rahimahullah. Pasukan
itu kemudian menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad
Rahimahullah. Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat
dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq).
Dengan
dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki
Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick
dapat dikalahkan. Dari situ Thariq Rahimahullah dan pasukannya terus
menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada dan Toledo (ibu kota
kerajaan Gothik saat itu). Sebelum Thariq Rahimahullah berhasil menaklukkan
kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair Rahimahullah
di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel,
sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding
dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang.
Kemenangan
pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad Rahimahullah membuat jalan untuk
penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair
Rahimahullah merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan
maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia
berangkat menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat
ditaklukkannya. Setelah Musa Rahimahullah berhasil menaklukkan Sidonia,
Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic,
Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya,
keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian
utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.
Gelombang
perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn
Abd al-Aziz Rahimahullah tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk
menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan
pasukan dipercayakan kepada Al-Samah Rahimahullah, tetapi usahanya itu gagal
dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan
diserahkan kepada Abdurrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi Rahimahullah. Dengan
pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari sini ia mencoba
menyerang kota Tours. Akan tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia
ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara
yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Sesudah
itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon tahun
734 M, ke Lyon tahun 743 M, dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah,
Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Sicilia juga
jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayah. Gelombang kedua terbesar dari
penyerbuan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini,
telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah
dan bagian-bagian penting dari Italia. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat
Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor
eksternal dan internal yang menguntungkan.
Yang
dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam
negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan
menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke
dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap
tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran
Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi
yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut
agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Rakyat
dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh
kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi
seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru
pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu Amer Ali,
seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat)
menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan,
tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah
kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam
kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang
keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan
pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu
keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak
coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.
Perpecahan
politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol,
ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada
di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian
maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena
didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol
berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan
masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa
pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat
jalan-jalan tidak mendapat perawatan.
Buruknya
kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh
keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan
Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran
kerajaan Ghoth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari
Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas
wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari
Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun
kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung
dengan kaum muslimin.
Sementara
itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa
wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan
mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan
pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa
Rahimahumullah.
Hal
menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri
dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu,
orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan
memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Adapun yang
dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh
penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam
penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh
yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun
cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah
pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu
toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan
persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk
Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
3. Perkembangan Peradaban Islam Di Andalusia
Umat Islam
di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka
peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang
lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual.
Dalam masa
lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai
kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya
membawa Eropa, dan kemudian membawa dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
a. Kemajuan Intelektual
Spanyol
adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang
tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol
Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari :
·
Komunitas-komunitas
Arab (Utara dan Selatan)
·
Al-Muwalladun
(orang-orang Spanyol yang masuk Islam)
·
Barbar
(umat Islam yang berasal dari Afrika Utara)
·
Al-Shaqalibah
(tentara bayaran yang dijual Jerman kepada penguasa Islam)
·
Yahudi
·
Kristen
Muzareb yang berbudaya Arab
·
Kristen
yang masih menentang kehadiran Islam
Semua
komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Andalusia – Spanyol, yaitu:
1) Filsafat
Islam di
Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan
sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu
pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan
ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan
penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas
inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari
Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof
besar pada masa sesudahnya.
Bagian
akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang
terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia
lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan
dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli
fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid.
2) Sains
IImu-ilmu
kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang
dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah
orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya
al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya
gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat
teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan
bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam
bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak
pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat
sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian
pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.
3) Fiqih
Dalam
bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang
memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn
Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn
al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
4) Musik dan Kesenian
Dalam
bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya
al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan
dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal
sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya
baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya
tersebar luas.
5) Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab
telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu
dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli
Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan
mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka
itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn
al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan
al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra
bermunculan, seperti Al-’Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji
Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn
Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
E. GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
- PENGERTIAN ISTILAH PEMBAHARUAN
a. Harun Nasution
Harun
Nasution cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”,
karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran,
aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi lama,
dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan
tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuna modern.
Karena
konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan
menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas.
b. Revivalisasi
Menurut
paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni”
sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan
kaum Salaf.
c. Kebangkitan Kembali ( Resugence )
Dalam kamus
Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the
act of rising again ). Pengertian ini memnagandung 3 hal :
1) suatu pandangan dari dalam, suatu cara
dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para
penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali
prestise dankehormatan dirinya.
2) “kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa
keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar
terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam
saat ini.
3) Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep,
mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap
pengikut pandangan-pandangan lain.
- FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PEMBAHARUAN ISLAM
a. Kepercayaan terhadap Barat secara
keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.
b. Gagalnya system social yang bertumpu pada
kapitalisme dan sosialisme
c. Gaya hidup elit sekuler di negara-negara
Islam.
d. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara
segmen kelas menengah yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi
secara politik.
e. pencarian keamanan psikologis diantara
kaum pendatang baru di daerah perkotaan.
f. Lingkungan kota
g. Ketahanan ekonomi negara-negara Islam
tertentu akibat melonjaknya harga minyak.
h. Rasa percaya diri akan masa depan akibat
kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan
kembali peradaban Islam abad ke 15 Hijriah.
- CIRI-CIRI PEMBARUAN ISLAM
a. Kepercayaan yang kuat bahwa masyarakat
harsu ditata atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah / hadist nabi.
b. Kebuadayaan barat harus ditolak. Meskipun
ada yang mau menerima kemajuan-kemajuan barat dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
- GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
a. Muhammad Bin Abdul Wahab ( 1703-1787 )
Beliau
dilahirkan di Uyainah, sebuah dusun di Najed bagian Timur Saudi Arabia. Ia
dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama yang ketat di bawah pengaruh
mazhab Hanbali, yaitu mazhab yang memperkenalkan dirinya sebagai aliran
Salafiyah.
Muhammad
Bin Abdul Wahab menamakan gerakannya, “Gerakan Muwahidin yaitu suatu gerakan
yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esakan Allah dengan semurni-murninya
yang mudah, gampang dipahami, dan diamalkan persis seperti Islam pada masa
permulaan sejarahnya.
Gerakan
yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab ini dinamakan “Gerakan Wahabi” sebagai
ejek-ejekan oleh lawan-lawannya.
Hal-hal
yang ditekankan oleh gerakan ini adalah :
1) Penyembahan kepada selain Allah adalah
salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2) Orang yang mencari ampunan Allah dengan
mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan musyrikin.
3) Termasuk perbuatan musyrik memberikan
pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi atau wali atau Malaikat (
seperti sayidina Muhammad ).
4) Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang
tidak didasarkan atas Alqur’an dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal
pikiran semata-mata.
5) Termasuk kufur dan ilhad yang menginkari
“Qadar” dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan ta’wil.
6) Dilarang memaki buah tasbih dalam
mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid ) cukup menghitung dengan jari.
7) Sumber syariat Islam dalam soal halal dan
haram hanya Alqur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul.
Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram-halal tidak menjadi
pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8) Pintu Ijtihad tetap terbuka dan siapapun
juga boleh melakukan Ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Sifat
gerakan Wahabi yang keras, lugas, dan sederhana benar-benar tenaga yang sanggup
mengoncangkan dan membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang
lelap tidur dalam kegelapan. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti
Su’udiyah ( Saudi Arabia ) berjuang dengan sikap pantang menyerah. Ibnu Su’ud
dalam menjalankan roda pemerintahannya diilhami oleh syaikh Muhammad.
- PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA
Sekitar
awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan
sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru
Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari
luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati
(Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan
melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat
berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti
Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari
ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India. Oemar Amin Hoesin pernah menulis
bahwa terdapat media cetak berupa majalah dan surat kabar, yang memuat ide-ide
Pan-Islamisme, menyusup ke Indonesia pada awal-awal abad 20-an, semisal:
al-’Urwat al-Wuthqa, al-Mu’ayyad, al-Siyasah, al-Liwa’, dan al-’Adl yang
kesemuanya berasal dari Mesir. Sementara terbitan Beirut ada Thamrat al-Fumm
dan al-Qistas al-Mustaqim. Sekalipun demikian, Karel Steenbrink menyatakan
keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Abduh kedalam konstruk gerakan Islam
Indonesia modern.
Ide-ide
pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat
dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:
a. Jalur haji dan mukim
Yakni
tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu
bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau
pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas
keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide
baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran
dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap
komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M,
menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi,
fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan
fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam
sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode
hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau
jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama
setempat yang masih berfaham tradisionil.
b. Jalur publikasi
Yakni
berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik
dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut
kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa
lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di
Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya
disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota
masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini.
c. Peranan Mahasiswa
Peran
mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri,
para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah
alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan
pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua.
Faktor
domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda
ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan kaum pribumi
terpelajar. Dimana golongan inilah yang kemudian menjadi elit yang peka
terhadap isu-isu pembaharuan termasuk ide nasionalisme yang tengah menjadi
trend di dunia. Diketahui bersama bahwa awal abad ke-20 terjadi beberapa
fenomena yang cukup membesarkan hati bangsa-bangsa non-Eropa, antara lain
kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan gerakan Turki Muda (1908),
dan Revolusi Cina-nya Sun Yat Sen (1911). Sekalipun demikian, secara umum
sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan pembaharuan
Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini:
1) Kemunduran Islam sebagai agama karena
praktek-praktek penyimpangan;
2) Keterbelakangan para pemeluknya; dan
3) Adanya invansi politik, kultural dan
intelektual dari dunia Barat.
Selanjutnya
yang patut disadari pula bahwa antara berbagai tokoh pemuka gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia relatif memiliki kekhasan seiring perbedaan latar belakang
karakter dan pendidikan masing-masing. Ditambah faktor konteks kedaerahan,
gerakan yang kemudian digagas dan diperjuangkan oleh mereka pun memperlihatkan
variasi artikulasi yang beragam. Al-Irsyad misalnya, mengklaim diri sebagai
gerakan reformasi Islam dengan konsentrasi pada komunitas Arab Indonesia.
Persatuan Islam (Persis) lebih tegas lagi mengidentifikasi diri sebagai gerakan
revivalis yang anti bid’ah, khurafat, taqlid dan shirk. Fokus perjuangannya
lebih berdimensi penyebaran agama daripada bersifat sosial. Berbeda dengan
Persis yang tumbuh di daerah Bandung yang sedikit pengaruh Hindu-Budha-nya,
Muhammadiyah justru lahir di lingkungan masyarakat yang dikenal heterodoks,
yaitu Yogyakarta. Maka tampaklah bahwa karakter gerakan Muhammadiyah lebih
bercorak toleran. Seperti halnya Sarekat Islam, Muhammadiyah tidak mengklaim
secara verbal sebagai gerakan reformis, tetapi lebih suka menampilkan diri
sebagai gerakan nyata yang berjuang memperbaiki dan meningkatkan kehidupan
keagamaan dan sosial umat Islam. Hanya saja, Sarekat Islam lebih cenderung
menggarap bidang politik, sementara Muhammadiyah pada bidang sosial-keagamaan.
Singkat
kata, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola
dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam.
Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit
sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim
tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis
pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu
alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai
sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan
nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian
adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi
perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional
sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka
untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya.
Maka menarik dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan bahwa
pembaharuan Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang garap:
1) Menyerang formalisme dari ortodoksi Islam
serta realitas sinkretisme ajaran karena pengaruh animisme dan Hindu-Budha;
2) Menyerang institusi pra-Islam yang
menghalangi perkembangan, dengan representasi institusi adat dan kaum priyayi;
3) Melawan tekanan westernisasi dan dominasi
nilai-nilai Barat; dan
4) Melawan kekuasaan status quo kolonial
Belanda.
Dengan kian
massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah
masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan
keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad
Jainuri sebagai berikut:
1)
Tradisionalis-konservatis,
yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan
tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari
kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan,
2)
Reformis-modernis,
yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik
privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam
berinteraksi dengan perkembangan zaman,
3)
Radikal-puritan,
seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka
enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat.
Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami.
Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum
tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan
dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.
F. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Awal Masuknya Islam di Indonesia
Ketika
Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme,
dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan dibeberapa
wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu
dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara
di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang
ke wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang
dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada
kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga adalah masuk
kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua kalimah syahadat dan tidak
ada paksaan.
Tentang
kapan Islam datang masuk ke Indonesia, menurut kesimpulan seminar “ masuknya
Islam di Indonesia” pada tanggal 17 s.d 20 Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke tujuh masehi. Menurut
sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara pada
masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah.
2. Cara Masuknya Islam di Indonesia
Islam masuk
ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan
tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif berkat kegigihan
para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada prinsip Q.S.
al-Baqarah ayat 256 :
Artinya :
“Tidak ada paksaan dalam
agama” (Q.S. al-Baqarah ayat 256)
Adapun cara
masuknya Islam di Indonesia melalui beberapa cara antara lain ;
a. Perdagangan
Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak
dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti
kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah
para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari
keuntungan duniawi juga mereka mencari keuntungan rohani yaitu dengan
menyiarkan Islam. Artinya mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam.
b. Kultural
Artinya
penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan, sebagaimana
yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga
dengan pengembangan kesenian wayang. Ia mengembangkan wayang kulit, mengisi
wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan
gamelannya. Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat
Indonesia khususnya jawa sampai sekarang. Sedang Sunan Giri menciptakan banyak
sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng
dan lain-lain.
c. Pendidikan
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam
pengembangan Islam di Indonesia. Para da’i dan muballig yang menyebarkan Islam
diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut. Datuk Ribandang
yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran
pesantren Sunan Giri. Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti
Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara. Dan sampai
sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali
penyebaran Islam di seluruh Indonesia.
d. Kekuasaan politik
Artinya
penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para
Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan
menjadi pelindung perkembangan Islam. Begitu juga raja-raja lainnya di seluruh
Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi selatan melakukan hal yang sama
sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di Jawa. Dan para Sultan di seluruh
Nusantara melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam
melindungi dakwah Islam di Nusantara. Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya
negara nasional Indonesia dimasa mendatang.
3. Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah
Nusantara
a. Di Sumatra
Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa
wilayah Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat pulau
Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di Aceh utara yang kemudian di
masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang pertama yaitu
kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.
Menurut keterangan Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar “Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa
kerajaan Islam yang pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah lain
telah sepakat, Samudra Pasailah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara dengan
rajanya yang pertama adalah Sultan Malik Al-Saleh (memerintah dari tahun 1261
s.d 1297 M). Sultan Malik Al-Saleh sendiri semula bernama Marah Silu. Setelah
mengawini putri raja Perlak kemudian masuk Islam berkat pertemuannya dengan
utusan Syarif Mekkah yang kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah Mada,
tetapi bisa dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup tangguh dikala
itu. Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama
tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat
Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh keSultanan
Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam (sekarang dikenal dengan kabupaten
Aceh Besar).
Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam,
hampir bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan Portugis.
Dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim kerajaan Aceh
terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-saudagar muslim yang semula berdagang
dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam ( 1607 - 1636).
Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam penyebaran Agama Islam ke
seluruh wilayah Nusantara. Para da’i, baik lokal maupun yang berasal dari Timur
Tengah terus berusaha menyampaikan ajaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara.
Hubungan yang telah terjalin antara kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus
semakin berkembang. Tidak saja para ulama dan pedagang Arab yang datang ke
Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami
Islam datang langsung ke sumbernya di Mekah atau Madinah. Kapal-kapal dan
ekspedisi dari Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16.
Bahkan pada tahun 974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi
(Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat antara Aceh
dan Timur Tengah itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah.
b. Di Jawa
Benih-benih
kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama
Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr. Buya Hamka dalam
bukunya Sejarah Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M sampai tahun 675 M. sahabat
Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah singgah di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga)
menyamar sebagai pedagang. Bisa jadi Muawiyah saat itu baru penjajagan saja,
tapi proses dakwah selanjutnya dilakukan oleh para da’i yang berasal dari
Malaka atau kerajaan Pasai sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur
hubungan antara Malaka dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah
begitu pesat.
Adapun gerakan
dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu :
1) Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor
penyebaran Islam di Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan
sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419 M.(882 H)
dimakamkan di Gapura Wetan Gresik
2) Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Dilahirkan
di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang Cempa, ia sebagai
mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Wejangan
terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan
madat, yang marak dimasa Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa
Sunan Ampel :
a) Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat
Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig kenamaan seperti : Raden Paku
(Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden Makhdum (Sunan Bonang),
Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus untuk
menyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
b) Berperan aktif dalam membangun Masjid
Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 M.
c) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam
Demak dan ikut menobatkan Raden Patah sebagai Sultan pertama.
3) Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden
Paku)
Ia putra
Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan menguasai ilmu Falak.
Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai raja peralihan
sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia
menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa.
4) Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Putra Sunan
Ampel lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden Paku.
Beliaulah yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.
5) Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Ia tercatat
paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat wayang
kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya,
karena wayang Beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya
jauh dari manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqih yang
dilakukannya dalam rangka dakwah Islam.
6) Sunan Drajat
Nama
aslinya adalah Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau
terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para da’i yang berdatangan
dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon.
7) Syarif Hidayatullah
Nama
lainnya adalah Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah,
yang menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang
wilayahnya sampai ke Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid Demak
selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif
Hidayatullah dengan kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang
hidup bersamaan kala itu, yaitu Demak, Giri dan Cirebon.
Hanya saja
Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para
wali.
8) Sunan Kudus
Nama
aslinya adalah Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun
1550 M. (960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan
sekitarnya. Ia membangun masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan merupakan
salah satu warisan budaya Nusantara.
9) Sunan Muria
Nama aslinya
Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan
Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta kesenian daerah lainnya.
Beliau dimakamkan di Gunung Muria, disebelah utara kota Kudus.
Diparuh
awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tentram dan damai
dalam ayoman keSultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar Al
Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya
setelah mengakhiri masa Siwa-Budha serta animisme. Merekapun memiliki kepastian
hidup bukan karena wibawa dan perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum
yang pasti yaitu syari’at Islam “Salokantara” dan “Jugul Muda” itulah dua kitab
undang-undang Demak yang berlandaskan syari’at Islam. Dihadapan peraturan
negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama
khalifah Allah di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh
kekuasaan para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan sebagai tim kabinet
atau merangkap sebagai dewan penasehat Sultan.
Dalam versi
lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474 M. oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel),
membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim, Qasim (Sunan Drajat) Usman Haji (ayah
Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan Gresik), Syekh Sutan Maharaja Raden
Hamzah, dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian Syekh Syarif Hidayatullah
dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai
muballig keliling. Disamping wali-wali tersebut, masih banyak Ulama yang
dakwahnya satu kordinasi dengan Sunan Ampel hanya saja, sembilan tokoh Sunan
Wali Sanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya yang
menonjol dalam dakwahnya.
c. Di Sulawesi
Ribuan
pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau.
Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang
ke Sulawesi, di tanah ini sudah ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah.
Meski belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh
para da’i di Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan
Gowa dan Tallo atau yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung
barat daya pulau Sulawesi.
Kerajaan
Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan
Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui seorang da’i
bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada tanggal 22
September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam yang
kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana
menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa.
Setelah resmi
menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo menyampaikan pesan Islam kepada
kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera
menerima pesan Islam diikuti oleh raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone
yang bergelar Sultan Adam menerima Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan
demikian Gowa (Makasar) menjadi kerajaan yang berpengaruh dan disegani.
Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai daerah dan
manca negara. Hal ini mendatangkan
keuntungan yang luar biasa
bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada
masa Sultan Hasanuddin (1653-1669).
d. Di Kalimantan
Islam masuk
ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga jalur. Jalur
pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Perlak dan
Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar
sebab para muballig dan komunitas muslim kebanyakan mendiamai pesisir barat
Kalimantan.
Jalur
kedua, Islam datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa. Ekspedisi
dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak
mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para da’i tersebut berusaha mencetak
kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka lahirlah ulama besar,
salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Jalur
ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar) terutama da’i yang terkenal
saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.
1) Kalimantan Selatan
Masuknya
Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis kepemimpinan
dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu Raden Samudra yang
ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama minta bantuan
kepada kerajaan Demak di Jawa dalam peperangan melawan pamannya sendiri, Raden
Tumenggung Sultan Demak (Sultan Trenggono) menyetujuinya, asal Raden Samudra
kelak bersedia masuk Islam.
Dalam
peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai dengan janjinya
ia masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat itulah tahun
(1526 M) berdiri pertama kali kerajaan Islam Banjar dengan rajanya Raden
Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Raja-raja Banjar
berikutnya adalah Sultan Rahmatullah (putra Sultan Suryanullah), Sultan
Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah dan Marhum Panambahan atau Sultan
Musta’in Billah. Wilayah yang dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai,
Sukadana, Kota Waringin, Sampit Medawi, dan Sambangan.
2) Kalimantan Timur
Di Kalimantan
Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada Islam
diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk
kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid.
Tahun 1575
M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman
Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di
Langgar dan para penggantinya.
e.
Di Maluku.
Kepulauan
Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga menjadi daya
tarik para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang muslim baik dari
Sumatra, Jawa, Malaka atau dari manca negara. Hal ini menyebabkan cepatnya
perkembangan dakwah Islam di kepulauan ini.
Islam masuk
ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun 1440 dibawa oleh
para pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa (terutama para da’i yang
dididik oleh para Wali Sanga di Jawa). Tahun 1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate
masuk Islam. Namun menurut H.J De Graaft (sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate
yang benar-benar muslim adalah Zaenal Abidin (1486-1500 M). Setelah itu Islam
berkembang ke kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Tetapi diantara sekian
banyak kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan , yaitu Ternate
dan Tidore.
Raja-raja
Maluku yang masuk Islam seperti :
1) Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum
(1465-1486).
2) Setelah beliau wafat digantikan oleh
Sultan Zaenal Abidin yang sangat besar jasanya dalam menyiarkan Islam di
kepulauan Maluku, Irian bahkan sampai ke Filipina.
3) Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan
Jamaluddin.
4) Raja Jailolo yang berganti nama dengan
Sultan Hasanuddin.
5) Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan
bergelar Zaenal Abidin.
Selain
Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang disiarkan
oleh raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para muballig yang juga
berasal dari Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah :
Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
4. Peranan Umat Islam dalam Mengusir Penjajah.
Ketika kaum
penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan saat
itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak
dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki
identitas bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh
bendera Rasulullah saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw
pernah bersabda :” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku
diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan
putih “. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai
bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu
menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.
Beberapa
ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan
membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat
melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk
yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh
ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat)
tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah
dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo
yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya
bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang
pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika
sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah)
kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah
terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani
sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas
Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah
Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan
rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut
fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat
jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah
berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah
beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika
Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh
mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan
pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya.
Para da’i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam
kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar
menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban
bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Di bawah
ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam
Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula
datang ke Nusantara ialah Portugis dengan semboyan Gold (tambang emas), Glory
(kemulyaan, keagungan), dan Gospel (penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha
dengan menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan
dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib . Dengan
modal restu sakti dari Paus Alexander VI dalam suatu dokumen bersejarah yang
terkenal dengan nama “Perjanjian Tordesillas” yang berisi, bahwa kekuasaan di
dunia diserahkan kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah
barat menjadi milik Spanyol dan sebelah timur termasuk Indonesia menjadi milik
Portugis.
Karena itu Portugis sangat
bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud Katulistiwa yang penuh dengan rempah-rempah
yang menggiurkan. Pertama mereka menyerang Malaka dan menguasainya (1511 M),
kemudian Samudra Pasai tahun 1521 M. Mulailah mereka mengusik ketenangan
berniaga di perairan nusantra yang saat itu banyak para pedagang muslim dari
Arab. Demikian pula para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah
terjalin sangat erat. Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan hubungan
Demak dan Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin merebut rempah-rempah yang
merupakan komoditi penting saat itu. Banyak kapal-kapal mereka dirampas oleh
Portugis termasuk kapal pedagang muslim Arab.
Dengan sikapnya yang tak
bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis, seluruh kerajaan yang ada di
Nusantara kemudian melakukan perlawanan kepada Portugis meskipun dalam waktu dan
tempat yang berlainan. Kerajaan Aceh misalnya sempat minta bantuan kerajaan
Usmani di Turki dan negara-negara Islam lain di Nusantara, sehingga dapat
membangun kekuatan angkatan perangnya dan dapat menahan serangan Portugis.
Demikian pula, mendengar perlakuan Portugis yang zalim terhadap para pedagang
warga Demak muslim, Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk
berjihad. Halus dihadapi dengan halus, keras dilawan dengan keras. Kalau
orang-orang Portugis mengobarkan semangat Perang Salib, maka Sultan Demak dan
para wali mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah
pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang
saat itu sudah menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami kegagalan karena
persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun
1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh
balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya sama
yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan
jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun
perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam
pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar ”Pangeran sabrang lor”
artinya pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus,
perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Sultan Trenggana (1521-1546) dan
juga oleh putranya Sultan Prawoto. Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara
dalam keadaan goncang karena perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang
untuk melawan dan mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus
digalang. Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun kekuatan
militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal layar
yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit masing-masing
mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari serangan Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam
terhadap penjajah Portugis di Malaka mengalami kegagalan, namun terhadap
penjajah Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta) dan Maluku memperoleh hasil yang
gemilang. Adalah panglima Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada
tahun 1526 M. memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat
jalur laut. Mereka berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan penjajah
Portugis, kemudian diganti namanya menjadi Fathan Mubina diambil dari Quran
Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina diterjemahkan menjadi Jayakarta
(Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M, yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba
kerajaan Islam Ternate dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar,
sehingga mereka dibawah pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis.
Nampaknya yang menjadi persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi,
tapi juga persoalan penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara
besar-besaran terutama pada tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan Gereja
Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan sangat ekstrimnya ditengah-tengah
penduduk muslim dan di depan mata seorang Sultan Ternate yang sangat saleh,
tentu saja membuat rakyat marah dan bangkit melawan Portugis. Lebih marah lagi
ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat
Ternate terus melanjutkan perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan
Babullah, putra Sultan Haerun selama empat tahun mereka berperang melawan
Portugis, dan Alhamdulillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali datang ke
Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman,
dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei
1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan
penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan
terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan
agama Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat
penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5
abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam
sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan
terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika seluruh
umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai
pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak
dan golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir
Belanda dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu
pilihan mereka : Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr.
Setia Budi (1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya
menjelang akhir hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh
dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat
seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan
pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para
Ulama atau para kyai antara lain :
a.
Di
Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari
kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari
Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima
lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden
Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200
ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar
8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari
Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan
terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)
b.
Di
pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi
(Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya : Teuku
Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima Polim, Panglima
Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam
Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat
muslim bergerak melawan penjajah kafir Belanda yang terkenal dengan perang
Banjar, dibawah pimpinan Pangeran Antasari yang didukung dan dilanjutkan oleh
para mujahid lainnya seperti pangeran Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra
pangeran Antasari), Demang Leman dari Martapura, Temanggung Surapati dari Muara
Teweh, Temanggung Antaludin dari Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari
Amuntai, Temanggung Naro dari buruh Bahino, Panglima Batur dari Muara Bahan,
Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Haji Bayasin, Temanggung Macan Negara, dan
lain-lain. Dalam perang Banjar ini sekitar 3000 serdadu Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak
juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin, Pangeran Neuku dan Said dari
kesultanan Ternate dan Tidore. Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam
Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung
Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain
disetiap pelosok tanah air yang belum diangkat namanya atau dicatat dalam buku
sejarah adalah lebih banyak dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat
dalam buku-buku sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan
mengurangi keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul
berjihad dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia
diawali di kota Tarakan pada tanggal 10 januari 1942. Selanjutnya Minahasa,
Balik Papan, Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta
berhasil diduduki tanggal 5 Maret 1942.
Untuk sementara penjajah
Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat
pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya”, yang ternyata penjajah
Jepang lebih kejam dari penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia.
Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia
dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan yang mengerikan seperti
dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan kedalam sumur, para wanita
diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara Jepang (Geisha).
Pada awalnya Jepang membujuk
rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim dirinya sebagai saudara tua Bangsa
Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia
dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan
beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan
kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada
pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak
ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam tidak mau
kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan bawah
tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan
organisasi-organisasi yang bersifat politik atau yang membahayakan Jepang yang
dibentuk semasa Belanda, kemudian sebagai gantinya dibentuklah
organisasi-organisasi baru misalnya Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In
(Badan pengendali politik), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Seinendan,
Fujinkai, Keibodan, Heiho, Peta dan lain-lain. Motif utama dibentuknya organisasi-organisasi
tersebut hanyalah sebagai kedok saja yang ternyata untuk kepentingan penjajah
Jepang juga. Namun bangsa kita sudah cerdas justru organisasi-organisasi
tersebut sebaliknya dimanfaatkannya untuk melawan penjajah Jepang. Sebagai
contoh adalah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air) pada tanggal 3
Oktober 1943 di Bogor yang merupakan cikal bakal adanya TNI. Terbentuknya
memang atas persetujuan penjajah Jepang yang didukung oleh para alim ulama.
Tercatat sebagai pendirinya adalah KH.Mas Mansur, Tuan Guru H. Yacob, HM.Sodri,
KH.Adnan, Tuan guru H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim Amrullah, H.Abdul Madjid
dan U. Muchtar. Mereka betul-betul memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan
perjuangan bangsa. PETA saat itu terdiri dari 68 batalion yang masing-masing
dipimpin oleh para alim ulama. Para Bintaranya adalah para pemuda Islam, dan
panji-panji tentara PETA adalah bulan bintang putih di atas dasar merah.
Tanggal 5 Oktober 1945 terbentuklah BKR (Barisan Keamanan Rakyat) yang sebagian
besar pimpinannya adalah berasal dari PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan
selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68
bataliyon yang dipimpin oleh para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi
bentukan Jepang yang sangat kentara merugikan dan bahkan berbuat aniaya
terhadap bangsa Indonesia. Misalnya melalui Jawa Hokokai rakyat secara paksa
untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua serta menanam jarak yang hasilnya
harus diserahkan kepada pemerintah pendudukan Jepang, pelecehan, penghinaan
terhadap agama Islam dan umat Islam sudah terang-terang. Maka umat Islam di
berbagai daerah bangkit menentang penjajah Jepang, diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh
seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, guru ngaji di Cot Pileng pada
tanggal 10 November 1942. Sebabnya karena tentara Jepang melakukan penghinaan
terhadap umat Islam Aceh dengan membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah
yang sedang salat subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin oleh
KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok pesantren di Sukamanah Singaparna Tasik
Malaya pada tanggal 25 februari 1944. Penyebabnya karena para santrinya dipaksa
untuk melakukan Seikirei, menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan
setengah badan ke arah matahari. Ini tentu saja pelanggaran aqidah Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh
H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang
dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh
Teuku Hamid pada bulan November 1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin oleh
seorang komandan Pleton PETA yang bernama Supriadi pada tahun 14 Februari 1945
di Blitar, karena mereka tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat di daerah dan
banyak rakyat yang korban karena dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945
kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15 september 1945
datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA
(Nederland Indies Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan
seolah-olah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia.
Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan
tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan
terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran
arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah
Jendral Sudirman nama yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau
sebagai panglima besar TNI berlatar belakang santri. Pernah jadi da’i atau guru
agama di daerah Cilacap Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari
kepanduan Hizbul Wathan dan aktif dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh
Muhammadiyah. Beliau pada sebagian hidupnya adalah untuk berjuang, dan bahkan
dalam kondisi sakit sekalipun beliau terus memimpin perang gerilya ke
hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran
arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo. Dengan kumandang takbir, beliau
mengobarkan semangat berjihad melawan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal
10 November 1945. Karena dahsyatnya pertempuran tersebut, maka tanggal tersebut
dikenang sebagai hari pahlawan. Beliau tercatat pula dalam sejarah sebagai
arsitek bom syahid. Dalam kurun waktu perjuangan tahun 1945–1949 beliau
membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan
jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda.
Bandung lautan api adalah
pertempuran dahsyat di Bandung Utara, kemudian di Bandung Selatan dibawah
pimpinan Muhammad Toha dan Ramadhan .
5. Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan
Meletakkan Dasar-dasar Indonesia Merdeka.
Dalam upaya
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak disangsikan lagi peran kaum muslimin
terutama para ulama. Mereka berkiprah dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal 1 maret 1945. Lebih
jelas lagi ketika Badan ini membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan
tujuan dan maksud didirikannya negara Indonesia. Panitia terdiri dari 9 orang
yang semuanya adalah muslim atau para ulama kecuali satu orang beragama
Kristen. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs.Moh.Hatta, Mr.Moh.Yamin, Mr.Ahmad
Subardjo, Abdul Kahar Mujakir, Wahid Hsyim, H.Agus Salim, Abi Kusno
Tjokrosuyono dan A.A. Maramis (Kristen)
Meski dalam
persidangan-persidangan merumuskan dasar negara Indonesia terjadi banyak
pertentangan antar (mengutip istilah Endang Saefudin Ansori dalam bukunya
Piagam Jakarta) kelompok nasionalis Islamis dan kelompok nasionalis sekuler.
Kelompok Nasionalis Islamis antara lain KH. Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim,
KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno menginginkan agar Islam dijadikan dasar
negara Indonesia. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler dibawah pimpinan
Soekarno menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral dari
agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok sehingga
melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni
1945, yang berbunyi :
a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Rumusan itu
disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi bagian dari Mukaddimah UUD
45. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang lahir tanggal 17 Agustus 1945
adalah republik yang berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya Meskipun keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh
kata dalam Piagam Jakarta itu dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha
Esa”. Ini sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam dan para ulama. Muh.
Hatta dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan” Yang Maha
Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.
Saat proklamasipun
peran umat Islam sangat besar. 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19
Ramadhan 1364 H. Proklamasi dilakukan juga atas desakan-desakan para ulama
kepada Bung Karno. Tadinya Bung Karno tidak berani. Saat itu Bung Karno
keliling menemui para ulama misalnya para ulama di Cianjur Selatan, Abdul Mukti
dari Muhammadiyah, termasuk Wahid Hasyim dari NU. Mereka mendesak agar
Indonesia segera diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian
penting peran ulama di mata Bung Karno. Setelah Indonesia diproklamasikan, Bung
karno masih terus berkeliling terutama minta dukungan para ulama dan rakyat
Aceh. Di bawah pimpinan ulama-ulama Aceh seperti Daud Beureuh, Teuku Nyak
Arief, Mr. Muhammad Hasan, M.Nur El Ibrahimy, Ali Hasyimi dan lain-lain, rakyat
Aceh segera menyambut dengan gegap gempita. Dukungan mereka bukan hanya lisan
tapi juga berbentuk sumbangan materi, yaitu berupa uang 130.000 Straits Dollar
dan emas seberat 20 kg untuk pembelian pesawat terbang.
Saat itu
Soekarno sempat berjanji di hadapan Daud Beureuh, bahkan sampai mengucapkan
sumpah. ”Demi Allah, Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar nanti
rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanaan syari’at Islam”, demikian ucapan
Soekarno untuk meyakinkan Daud Beureuh, bahwa jika Aceh bersedia membantu
perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini.
Tapi janji itu hanya sekedar janji, tidak pernah diwujudkan. Inilah yang
menyebabkan Daud Beureuh kemudian memberontak kepada pemerintah pusat dan
bergabung dengan S.M.Kartosuwiryo yang juga dikecewakan oleh Soekarno, teman
seperguruannya waktu nyantri di HOS Cokroaminoto.
Sesungguhnya
perjuangan para ulama begitu besar dalam mengantarkan Indonesia merdeka tidak
lepas dari motivasi bagaimana Indonesia yang akan dibangun ini harus
berdasarkan syari’at Islam. Namun banyak dari golongan nasionalis meski mereka
beragama Islam (misalnya Soekarno dkk) tidak setuju dengan cita-cita para ulama
di atas. Kelompok Nasionalis inilah sangat berperan dalam penghapusan 7 kata
dalam piagam Jakarta. Inilah yang kemudian menjadi ganjalan dan kekecewaan bagi
para ulama. Sehingga beberapa tokoh Islam seperti Kartosuwiryo (Jawa Barat),
Kahar Muzakir (Sulawesi Selatan), Letnan I Ibnu Hajar (Kalimantan Selatan) dan
Daud Beureuh (Aceh) terpaksa harus angkat senjata berjuang kembali untuk
mewujudkan NII yang dicita-citakan, meskipun mereka kemudian dicap sebagai
pemberontak.
6. Peranan Organisasi-organisasi Islam dan
Partai-partai Politik Islam
Dalam
perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan Islam di Indonesia, Umat Islam
mendirikan berbagai organisasi dan partai politik dengan corak dan warna yang
berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, sosial budaya,
pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun semuanya mempunyai tujuan yang sama,
yaitu memajukan bangsa Indonesia khususnya umat Islam dan melepaskan diri dari
belenggu penjajahan. Tercatat dalam sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga
tersebut telah lahir para tokoh dan pejuang yang sangat berperan baik di masa
perjuangan mengusir penjajah, maupun pada masa pembangunan.
a. Sarekat Islam (SI)
Sarekat
Islam (SI) pada awalnya adalah perkumpulan bagi para pedagang muslim yang
didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo oleh H. Samanhudi. Nama semula adalah
Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian tanggal 10 Nopember 1912 berubah nama
menjadi Sarekat Islam (SI). H.Umar Said Cokroaminoto diangkat sebagai ketua,
sedangkan H.Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Latar belakang didirikannya
organisasi ini pada awalnya untuk menghimpun dan memajukan para pedagang Islam
dalam rangka bersaing dengan para pedagang asing, dan juga membentengi kaum
muslimin dari gerakan penyebaran agama Kristen yang semakin merajalela. Dengan
nama Sarekat Islam dibawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto organisasi ini semakin
berkembang karena mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Daya tarik
utamanya adalah asas keislamannya. Dengan SI mereka (umat Islam) yakin akan
dibela kepentingannya.
Keanggotaan
SI terbuka untuk semua golongan dan suku bangsa yang beragama Islam. Berbeda
dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya pada suku bangsa tertentu
(Jawa). Sehingga banyak sejarawan mengatakan bahwa tanggal berdirinya SI ini
lebih tepat disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan bukan tahun 1908
dengan patokan berdirinya Budi Utomo. Karena ruang lingkup Budi Utomo hanyalah
pulau Jawa, bahkan hanya etnis Jawa Priyayi. Sedangkan SI mempunyai
cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi layak disebut “Nasional”.
Secara
lahir SI tidak menyatakan diri sebagai organisasi partai politik. Tetapi dalam
sepak terjangnya jelas kelihatan sebagai organisasi politik. Kegiatan politik
dilakukan dengan sangat hati-hati dan bertahap. Dalam kongres tahun 1914,
Cokroaminoto mengatakan bahwa SI akan bekerjasama (kooperatif) dengan
pemerintah dan tidak berniat melawan pemerintah. Dua tahun kemudian dalam
kongresnya di Bandung, dia melancarkan kritik terhadap praktek kolonialisme
yang telah menyengsarakan rakyat. Dalam kongres itu SI menuntut supaya
Indonesia diberi pemerintahan sendiri dan rakyat diberi kesempatan untuk duduk
dalam pemerintahan. Semakin lama sikap SI semakin keras. Abdul Muis salah satu
tokoh SI mengatakan, jika tuntutan-tuntutan itu tidak diindahkan pemerintah
(penjajah), anggota SI bersedia membalas kekerasan dengan kekerasan. Pada waktu
pemerintah mendirikan Volksraad (Dewan Rakyat), SI mendudukkan wakilnya dalam
dewan itu, antara lain Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Setelah ternyata
Volksrad tidak bisa dipakai sebagai lembaga untuk memperjuangkan kemerdekaan,
SI pun menarik wakilnya. Demikian SI beralih ke strategi non-kooperatif.
Pada
kongres 1917, SI mulai dimasuki pengaruh lain, yaitu dengan masuknya
orang-orang yang berfaham Marxis (komunis) seperti Semaun dan Darsono. Bahkan
pada kongresnya yang ketiga tahun 1918 pengaruh Semaun semakin kuat. Tetapi SI
masih membiarkannya demi persatuan dan kesatuan bangsa yang saat itu sangat
diperlukan dalam menghadapi pemerintah penjajah. Pada tangal 10 Oktober 1921
dalam kongres SI yang ke-6 H. Agus Salim dan Abdul Muis merangkap menjadi
anggota dan pengurus mencetuskan perlunya disiplin partai dalam tubuh SI,
antara lain seorang anggota SI tidak boleh merangkap menjadi anggota atau
pengurus di partai lain. Ini tujuan sebenarnya adalah untuk membersihkan
barisan SI dari unsur-unsur komunis. Dengan disetujuinya gagasan ini akhirnya
Semaun dan Darsono keluar dari SI. Tapi kemudian SI terpecah menjadi dua, yaitu
SI Merah dan SI Putih. SI Merah dipimpin oleh Semaun berpusat di Semarang dan
berazaskan Komunis. Adapun SI Putih dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto berazaskan
Islam.
Pada
Kongres SI ke-7. SI Putih berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada
tahun 1927 nama Partai Sarekat Islam (PSI) ditambah dengan kata Indonesia,
sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Hanya sangat disayangkan
partai ini kemudian menjadi terpecah belah. Ada PSII yang dipimpin oleh
Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII H. Agus Salim.
b. Muhammadiyah
Muhammadiyah
secara etimologi artinya pengikut Nabi Muhammad. Adalah sebuah organisasi
non-politis yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan al-Quran
dan Sunnah Nabi Muhammad saw; memberantas kebiasaan yang tidak sesuai dengan
ajaran agama (bid’ah) dan memajukan ilmu agama Islam di kalangan anggotanya.
Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 Nopember
1912. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, telah disesuaikan dengan UU
no.8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada tanggal
7-11 Desember 1985, Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan
Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber
pada al-Quran dan Sunnah. Sifat gerakannya adalah non-politik, tapi tidak
melarang anggotanya memasuki partai politik. Hal ini dicontohkan oleh
pendirinya sendiri, KH Ahmad Dahlan, dimana beliau juga adalah termasuk anggota
Sarekat Islam.
Banyak
anggota Muhammadiyah yang berjuang baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang,
masa mempertahankan kemerdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi.
Mereka tersebar di berbagai organisasi pergerakan, organisasi partai politik
dan lembaga-lembaga negara. Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang kita kenal seperti
KH. Mas Mansur, Prof. Kahar Muzakir, Dr. Sukirman Wirjosanjoyo adalah para
pejuang yang tidak asing lagi. Demikian pula seperti Buya Hamka, KH AR.
Fakhruddin, Dr. Amin Rais, Dr. Syafi’i Ma’arif dan Dr. Din Syamsudin adalah
tokoh–tokoh Muhammadiyah yang sangat berperan dalam pentas nasional Indonesia.
Bidang-bidang
yang ditangani Muhammadiyah antara lain :
1) Sosial
Dalam bidang
sosial Muhammadiyah mendirikan :
a) Panti asuhan untuk anak yatim piatu
b) Bank Syari’ah untuk membantu pengusaha
lemah
c) Organisasi wanita yang bernama Aisiyah dan
organisassi kepanduan Hizbul wathan, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, dan ikatan Pelajar Muhammadiyah
2) Pendidikan
Dalam
bidang pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai
dari TK sampai perguruan tinggi. Data tahun 1985 Muhammadiyah sudah memiliki
12400 lembaga pendidikan yang terdiri dari 37 perguruan tinggi dan sisanya
adalah TK sampai SLTA. Tahun 1990 jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah
bertambah menjadi 78 buah.
3) Kesehatan
Dalam
bidang kesehatan Muhammadiyah mendirikan Poliklinik, Rumah Sakit dan Rumah
Bersalin. Data tahun 1990 telah memiliki 215 Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah
Bersalin.
c. Al Irsyad
Organisasi
ini berdiri tanggal 6 September 1914 di Jakarta, dua tahun setelah Muhammadiyah
berdiri, dan bisa dibilang sebagai sempalan dari Jami’atul Khair. Diantara
tokoh al-Irsyad yang terkenal adalah syeikh Ahmad Surkati, berasal dari Sudan
yang semula adalah pengajar di Jami’atul Khair. Al Irsyad ini mengkhususkan
diri dalam perbaikan (pembaharuan) agama kaum muslimin khususnya keturunan Arab
Sebagian tokoh Muhammadiyah pada awal berdirinya juga adalah kader-kader yang
dibina dalam lembaga pendidikan AlIrsyad. Saat itu al-Irsyad sudah memiliki
Madrasah Awaliyah (3 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (4 tahun), Madrasah Tajhiziyah
(2tahun), dan Madrasah Mu’allimin yang dikhususkan untuk mencetak guru.
Al-Irsyad bergerak bukan hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga bidang-bidang
lain seperti rumah sakit, panti asuhan dan rumah yatim piatu.
d. Nahdlatul Ulama
(NU)
artinya kebangkitan para ulama. Adalah sebuah Organisasi sosial keagamaan yang
dipelopori oleh para ulama atau kiyai. Mereka itu ialah K.H.Hasyim Asy’ari,
K.H.Wahab Hasbullah, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.Mas Alwi , dan K.H.Ridwan. Lahir
di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan kini menjadi salah satu organisai
dan gerakan Islam terbesar di tanah air. Bertujuan mengupayakan berlakunya
ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah dan penganut salah satu dari
empat mazhab fiqih (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Maliki).
Pada
mulanya NU ini tidak mencampuri urusan politik. Ia lebih memfokuskan diri pada
pengembangan dan pemantapan paham keagamaannya dalam masyarakat yang saat itu
sedang gencar-gencarnya penyebaran faham Wahabiyah yang dianggap membahayakan
paham ahli Sunnah Waljama’ah. Hal ini tersirat dalam salah satu hasil keputusan
kongresnya di Surabaya pada bulan Oktober 1928.
NU semakin
berkembang dengan cepat. Pada tahun 1935 telah memiliki 68 cabang dengan
anggota 6700 orang. Pada kongres tahun 1940 di Surabaya dinyatakan berdirinya
organisasi wanita NU atau Muslimat dan Pemuda Anshar.
Pada
perkembangan selanjutnya, NU mengubah haluannya. Selain sebagai organisasi yang
bergerak dalam bidang sosial keagamaan, juga mulai ikut dalam kehidupan
politik. Tahun 1937 bergabung dengan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Hal
ini terus berlangsung sampai dibubarkannya pada masa penjajahan Jepang tahun
1943, yang kemudian diganti Masyumi. Dalam Masyumi, NU adalah bagian yang
sangat penting sampai tahun 1952. Dalam Muktamarnya yang ke 19 tanggal 1 Mei
1952 menyatakan diri keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri.
Kemudian NU bersama dengan PSII dan Perti membentuk Liga Muslim Indonesia
sebagai wadah kerja sama partai politik dan organisasi Islam. Dalam Pemilu
tahun 1955 NU muncul sebagai partai politik terbesar ke tiga. Pada masa orde
baru NU bersama partai politik lainnya (PSII, Parmusi, Perti) berfungsi dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan
diri kembali ke khittah 1926, artinya melepaskan diri dari kegiatan politik,
meskipun secara pribadi-pribadi anggotanya tetap ikut berkiprah dalam berbagai
partai politik.
Pada masa
reformasi (1999) para tokoh NU yang dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid
mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kemudian
termasuk 5 besar pemenang Pemilu pada tahun tersebut. Melalui poros tengah,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pemimpin NU saat itu berhasil menjadi orang
nomor satu di RI, meskipun hanya berumur satu tahun.
Peranan NU
sebagai organisasi dalam perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan tidak diragukan lagi. Bahkan para kyai dan santri memikul senjata
(bambu runcing atau golok) untuk berjihad fi sabilillah. Tercatat dalam sejarah
tanggal 23 Oktober 1945 NU mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan tentara
penjajah.
e. Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)
MIAI ini
sebenarnya berdiri pada masa pemerintahan Belanda, yaitu tanggal 21 September
1937 di Surabaya sebagai organisasi federasi yang diprakarsai oleh K.H. Mas
Mansur, K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), K.H. Wahab Hasbullah (NU) dan
Wondoamiseno (PSII).
Tujuan
didirikan MIAI ini adalah agar semua umat Islam mempunyai wadah tempat
membicarakan dan memutuskan semua soal yang dianggap penting bagi kemaslahatan
umat dan agama Islam. Keputusan yang diambil MIAI harus dilaksanakan oleh semua
organisasi yang menjadi anggotanya.
Pembentukan
MIAI mendapat sambutan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia seperti
PSII, Muhammadiyah, NU, Persis, dan organisasi-organisasi yang lebih kecil
lainnya. Pada waktu dibentuk anggotanya hanya 7 organisasi, tapi empat tahun
kemudian jumlahnya sudah mencapai duapuluh.
Pada akhir
pemerintahan Hindia Belanda MIAI memberikan dukungan terhadap aksi Indonesia
berparlemen yang dicanangkan oleh GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Pada waktu
GAPI menyusun rencana konstitusi untuk Indonesia, MIAI menghendaki agar yang
menjadi kepala negara adalah orang Indonesia yang beragama Islam dan dua
pertiga dari menteri-menteri harus orang Islam.
Ketika
Jepang datang ke Indonesia seluruh organisasi yang ada di Indonesia dibekukan,
termasuk MIAI. Tapi khusus MIAI tanggal 4 September 1942 diperbolehkan aktif
kembali. Jepang melihat bahwa MIAI bersifat kooperatif dan tidak membahayakan.
Selain itu Jepang berharap dapat memanfaatkan MIAI ini untuk memobilisasi
gerakan umat Islam guna menopang kepentingan penjajahannya. Selain itu, Jepang
juga membantu perkembangan kehidupan agama. Kantor urusan agama yang pada masa
Belanda diketuai oleh seorang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi
Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu K.H.
Hasyim Asy’ari. Umat Islam pada saat itu juga diizinkan membentuk Hizbullah
yang memberikan pelatihan kemiliteran bagi para pemuda Islam, yang dipimpin
oleh K.H.Zaenal Arifin. Demikian pula diizinkan mendirikan Sekolah Tinggi Islam
di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Moh. Hatta.
MIAI
berkembang menjadi organisasi yang cukup penting pada masa pendudukan Jepang.
Para tokoh Islam dan para Ulama memanfaatkannya sebagai tempat bermusyawarah
membahas masalah-masalah yang penting yang dihadapi umat Islam. Semboyannya
terkenal Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai.
Diantara
tugas MIAI ialah:
1) Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang
layak dalam masyarakat Indonesia.
2) Mengharmoniskan Islam dengan kebutuhan
perkembangan zaman
MIAI juga
menerbitkan majalah tengah bulanan yang bernama Suara MIAI. Meskipun pada
awalnya MIAI tidak menyentuh kegiatan politik, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya kegiatan-kegiatannya tidak bisa lagi dipisahkan dengan politik yang
bisa membahayakan pemerintah Jepang. Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1943 MIAI
dibubarkan. Sebagai gantinya berdirilah Masyumi.
f.
Masyumi
Masyumi
kepanjangan dari Majlis Syura Muslimin Indonesia berdiri tahun 1943. Dalam
Muktamar Islam Indonesia tanggal 7 Nopember 1945 disepakati bahwa Masyumi
adalah sebagai satu-satunya partai Islam untuk rakyat Indonesia. Saat itu juga
Masyumi mengeluarkan maklumat yang berbunyi :” 60 Milyoen kaum muslimin
Indonesia siap berjihad fi sabilillah “, Pernyataan ini direkam dengan baik
oleh harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Nopember 1945. Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dan didampingi K.H.Hasyim Asy’ari. Tergabung
dalam organisasi ini adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, dan Sarekat
Islam. Tokoh-tokoh lain yang penting misalnya Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahab
dan tokoh-tokoh muda lainnya misalnya Moh. Natsir, Harsono Cokrominoto, dan
Prawoto Mangunsasmito.
Visi
Masyumi bahwa setiap umat Islam diwajibkan jihad Fi sabilillah dalam berbagai
bidang, termasuk dalam bidang politik. Para pemuda Islam, khususnya para santri
dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun politis. Masyumi dibubarkan
oleh Soekarno pada tahun 1960. Sementara organisasi-organisasi yang semula
bergabung dalam Masyumi sudah mengundurkan diri sebelumnya, seolah-olah mereka
tahu bahwa Masyumi akan dibubarkan.
g. Mathla’ul Anwar
Organisasi
ini berdiri tahun 1905 di Marus, Menes Banten. Bergerak dalam bidang sosial
keagamaan dan pendidikan. Pendirinya adalah KH. M. Yasin. Tujuannya adalah
untuk mengembangkan pendidikan Islam khususnya di kalangan masyarakat sekitar
Menes Banten. Aspirasi politik organisasi ini pernah disalurkan melalui Sarekat
Islam (SI), tapi perkembangan selanjutnya organisasi ini menjadi netral,
artinya tidak ikut dalam kegiatan politik, tapi hanya mengkhususkan diri pada
kegiatan sosial dan pengembangan pendidikan Agama. Berkat memfokuskan diri pada
pendidikan, organisasi ini sekarang sudah menjadi organisasi berskup nasional.
Lembaga-lembaga pendidikannya berupa madrasah-madrasah dari mulai TK sampai
Madrasah Aliyah (setingkat SMA) tersebar di seluruh Nusantara.
h. Persatuan Islam (Persis)
Persis
adalah organisasi sosial pendidikan dan keagamaan. Didirikan pada tanggal 17
September 1923 di Bandung atas prakarsa KH. Zamzam dan Muhammad Yunus, dua
saudagar dari kota Palembang. Organisasi ini diketuai pertama kali oleh A.
Hassan, seorang ulama yang terkenal sebagai teman dialog Bung Karno ketika ia
dipenjara. Bung Karno banyak berdialog dengan A.Hassan lewat surat-suratnya.
Pemikiran-pemikiran keagamaan Bung Karno selain dari HOS Cokroaminoto, juga
banyak berasal dari A.Hassan ini.
Diantara
tujuan Persis ini adalah :
1) Mengembalikan kaum Muslimin kepada
Al-Quran dan Sunnah (hadis nabi)
2) Menghidupkan ruh jihad dan ijtihad dalam
kalangan umat Islam
3) Membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul,
taklid dan syirik dalam kalangan umat Islam
4) Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah
Islam kepada segenap lapisan masyarakat
5) Mendirikan madrasah atau pesantren untuk
mendidik putra-putri muslim dengan dasar Quran dan Sunnah.
i.
Organisasi Pelajar, Mahasiswa dan Kepemudaan Islam
Organisasi
pelajar, mahasiswa dan kepemudaan Islam sangat besar sekali peranannya dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan memajukan bangsa Indonesia. Jong
Islamiten Bond (JIB) misalnya lahir tahun 1925 yang telah melahirkan
tokoh-tokoh nasional seperti M. Natsir, Moh.Roem, Yusuf Wibisono, Harsono
Tjokroaminoto, Syamsul Ridjal dan lain sebagainya.
Dari
masa-masa tahun enam puluhan hingga kini peran kepemudaan Islam lebih
didominasi oleh organisasi-organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
lahir 5 Pebruari 1947, PII (Pelajar Islam Indonesia), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Organisasi-organisasi
pelajar dan kemahasiswaan tersebut telah melahirkan banyak pemimpin nasional,
antara lain misalnya Akbar Tanjung (mantan Ketua DPR) dan Nurcholis Majid
Almarhum (Ketua Yayasan Paramadina) adalah Alumni HMI; Din Syamsudin (Sekjen
MUI) adalah alumni IMM; Muhaimin Iskandar (Ketua PKB) adalah alumni PMII, dan
banyak lagi contoh-contoh lain dari tokoh-tokoh nasional yang dikader oleh
organisasi-organisasi kemahasiswaan di atas.
Baik secara
pribadi ataupun secara organisasi para anggota dan alumni organisasi tersebut
di atas banyak terlibat dalam berbagai gerakan nasional. Misalnya pada masa
krisis Zaman Orde Lama, saat mereka berhadapan dengan Gerakan Komunis. Mereka
sangat kuat mengkritisi rezim Soekarno. Rezim Soekarno tumbang diganti dengan Orde
Baru yang tidak terlepas dari peran pemuda dan mahasiswa yang menamakan dirinya
dengan Angkatan 66. Angkatan 66 ini sebagian besar adalah juga para anggota
dari berbagai organisasi mahasiswa Islam. Sebut saja misalnya Fahmi Idris, Ekky
Syahruddin, Abdul Gafur, Mar’i Muhammad, Akbar Tanjung dan lain sebagainya.
Demikian pula di akhir zaman Orde Baru, mereka dapat mewarnai Gedung DPR/MPR
sehingga ada istilah “hijau royo-royo” dan banyak juga yang direkrut untuk
mengisi Kabinet Soeharto.
Menjelang
kejatuhan Orde Baru, para pemuda dan mahasiswa atau pelajar Islam, baik yang
tergabung dalam HMI, PMII, PII, IPPNU, KAPI, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia), GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan Pemuda Anshar turut aktif
mengambil bagian dalam menumbangkan Rezim Soeharto.
j.
Departemen Agama
Departemen
Agama dulu namanya Kementerian Agama. Didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang
mengambil keputusan tanggal 3 Januari 1946, dengan Menteri Agama yang pertama
adalah M. Rasyidi. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada
tahun 1967 sebagai berikut :
1) Mengurus serta mengatur pendidikan agama
di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2) Mengikuti dan memperhatikan hal yang
bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3) Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
4) Mengurus dan mengatur Peradilan Agama
serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
5) Mengatur, mengurus dan mengawasi
penyelenggaraan Ibadah Haji.
6) Mengurus dan memperkembangkan IAIN,
Perguruan Tinggi Agama Swasta dan Pesantren serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi agama Islam.
k. Peran Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga
Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia adalah pesantren. Kehadiran pesantren
ini hampir bersamaan dengan kehadiran Islam di Indonesia itu sendiri. Alasannya
sangat sederhana, Islam sebagai agama dakwah disebarkan melalui proses
transmisi ilmu dari ulama atau kyai kepada masyarakat (tarbiyah wat ta’lim atau
ta’dib). Proses ini berlangsung di Indonesia melalui pesantren.
Dari awal
keberadaannya pesantren telah menunjukkan perannya yang sangat besar dalam
pembinaan bangsa. Islam sebagai pandangan hidup membawa konsep baru tentang
Tuhan, kehidupan, waktu, dunia dan akhirat, bermasyarakat, keadilan, harta dan
lain-lain. Dengan pandangan hidup tersebut, masyarakat lalu mengembangkan
semangat pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah. Pemberontakan petani di
Banten tahun 1888 Perang masyarakat Aceh melawan Belanda tahun 1873 dan
perang-perang lainnya di seluruh daerah di Indonesia hampir tidak terlepas dari
peran pesantren dan santrinya.
Dizaman
pergerakan pra-kemerdekaan tokoh-tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto, KH.
Mas Mansur, KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar
Muzakar dan lain-lain adalah alumni-alumni pesantren. Sesudah kemerdekaan
pesantren juga telah melahirkan tokoh-tokoh kaliber nasional seperti Moh.
Rasyidi (Menteri Agama Pertama), Moh. Natsir (Mantan Perdana Menteri), KH.
Wahid Hasyim, KH. Idham Kholid (Mantan Wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS).
Demikian juga tokoh-tokoh nasional saat ini seperti Amien Rais (mantan Ketua
MPR), Abdurrahman Wahid (Mantan Presiden RI), Hidayat Nurwahid (Ketua MPR),
Hasyim Muzadi (Ketua PB NU), Nurcholis Majid (Almarhum Rektor Paramadina) dan
lain-lain adalah orang-orang yang tidak terlepas dari pesantren.
Keistimewaan
atau ciri khas pesantren hingga bisa eksis sampai saat ini antara lain adalah
1) Penguasaan bahasa asing terutama bahasa
Arab.
2) Penguasaan kitab-kitab kuning yang
merupakan sumber penting ilmu-ilmu keislaman.
3) Penanaman jiwa mandiri, sebab biasanya
para santri tinggal di asrama. Mereka harus hidup mandiri tanpa dekat dengan
orang tua.
4) Penanaman hidup disiplin, menghargai
teman, hormat sama guru (kyai) dan sabar serta istiqomah dalam melaksanakan
proses pembelajaran (tarbiyah, ta’dib dan ta’lim).
Biasanya
pendidikan pesantren tidak dibatasi oleh waktu, sehingga seorang santri bisa
sepuas-puasnya menimba ilmu sama kyai sampai ia diizinkan untuk meninggalkan
pesantrennya, kemudian pindah ke pesantren lain untuk mencari ilmu yang lebih
tinggi.
Sistim
pengajaran selain sistim Klasikal, juga sistim Individual (sorogan), yaitu
seorang santri bisa belajar ngaji atau membaca kitab dibimbing secara langsung
oleh seorang guru atau kyai, sehingga bisa lebih komunikatif antara guru dengan
santri.
Pada
perkembangan berikutnya sebagian besar pesantren baik di Jawa maupun di luar
Jawa, dilengkapi dengan lembaga pendidikan yang dikenal istilah Madrasah. Dari
mulai Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP),
Madrasah Aliyah (setingkat SMA) dan selanjutnya para lulusannya bisa
melanjutkan ke IAIN atau perguruan tinggi agama lainnya. Perbedaan Pesantren
dengan Madrasah antara lain : di Pesantren khusus mempelajari ilmu-ilmu agama,
tapi di Madrasah biasanya juga dipelajari ilmu-ilmu umum. Pesantren biasanya
tidak menggunakan kurikulum yang resmi (formal), tapi di Madrasah sudah
menggunakan kurikulum resmi dan baku, terutama kurikulum dari Departemen Agama.
l.
Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majlis
Ulama ini sebenarnya sudah berdiri sejak jaman pemerintahan Soekarno, tetapi
baru di tingkat daerah. Di Jawa Barat misalnya majlis ini berdiri tanggal 12
Juli 1958. Pada tanggal 21 sampai 27 Juni 1975 diadakan Musyawarah Nasional I
Majlis Ulama seluruh Indonesia di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil Majlis
Ulama propinsi. Ketika itulah Majlis Ulama tingkat Nasional berdiri dengan nama
Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Fungsi MUI
antara lain :
1) Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai
amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2) Mempererat ukhuwah Islamiyah dan
memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3) Mewakili umat Islam dalam konsultasi
antara umat beragama.
4) Penghubung antara Ulama dan Umara
(pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional.
Sejak
berdiri sampai saat ini sudah banyak fatwa-fatwa MUI dikeluarkan antara lain
menyangkut :
1) Hukum natal bersama bagi umat Islam
2) Aliran-aliran Islam sesat di Indonesia
3) Fatwa tentang bunga bank konvensional
4) Fatwa tentang bayi tabung dan inseminasi
buatan
5) Fatwa tentang faham pluralisme dan
sekularisme
6) Fatwa tentang perkawinan beda agama
7) Dan lain-lain
Ulama yang
pernah menduduki jabatan ketua MUI antara lain :
1) Prof.Dr. Hamka (1975- 1981)
2) KH. Syukri Ghozali (1981- 1984)
3) KH. EZ. Muttaqien (1984- 1985)
4) KH. Hasan Basri (1985- 1995)
5) H. Amidhan
m. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
ICMI
berdiri pada 7 Desember 1990 sebagai sebuah organisasi yang menampung para
cendekiawan muslim yang mempunyai komitmen pada nilai-nilai keislaman, tanpa
melihat aliran, warna politik dan kelompok. ICMI sebagai wadah tempat berdialog
para intelektual guna memecahkan persoalan-persoalan bangsa. Organisasi ini
pertama kali dipimpin oleh Prof. Dr.BJ. Habibie, kemudian Ahmad Tirto Sudiro
dan Adi Sasono.
ICMI
bergerak berlandaskan tiga hal :
1) Iman sebagai landasan moral untuk memicu
prestasi taqwa
2) Pancasila dan UUD 45 sebagai azas
filosofis dan konstitusional kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
3) Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
alat dan sarana bagi peningkatan mutu kehidupan.
Sasaran
jangka panjang adalah peningkatan kualitas ilmu, kualitas hidup, kualitas
kerja, kualitas berkarya dan kualitas berfikir bangsa Indonesia pada umumnya
dan umat Islam pada khususnya.
Organisasi
ini berkembang cukup cepat. Terbukti saat Silaknas I ( 5-7 Desember 1991)
jumlah anggotanya sekitar 15000 orang. Pada Nopember 1993 ICMI sudah mempunyai
32 Orwil (Organisasi Wilayah), yakni 28 di dalam negeri dan 4 di luar negeri (
Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat dan Pasifik). ICMI sudah memiliki 309
Orsat (Organisasi Satuan), yakni 277 di dalam negeri dan 32 di luar negeri
BAB III
PENUTUP
Pengertian sejarah peradaban
Islam sebagai perekembangan atau kemajuan kebudayaan Islam dalam perspektif
sejarahnya. Karena Islam lahir di Arab, maka isi dari ruang lingkup dari sejarah
peradaban Islam membahas tentang riwayat nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
wahyu tuhan sejak beliau belum dilahirkan sampai beliau wafat,
perjuang-perjuangan nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama islam, kemajuan
islam yang diteruskan oleh para sahabatnya masa disintegrasi, masa kemunduran,
penyebaran islam di belahan dunia barat hubungan perkembangan islam di negara
kita ini serta pusat-pusat peradaban islam.
Maju mundurnya peradaban islam
tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri. Dalam sejarah
islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh
kehadiran kerajaan-kerajaan islam di antaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan
Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan
ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim. Peradaban Islam juga dapat dilihat dari sejarah
peradaban Islam di Andalusia, yang meliputi perkembangan politik di Andalusia
dan Masa Kekhalifahan Umat Islam
Di Andalusia.
Gerakan pembaharuan Islam
membahas tentang pengertian istilah pembaharuan, faktor-faktor pendorong pembaharuan islam, ciri-ciri pembaruan islam, gerakan-gerakan pembaharuan serta
pembaharuan Islam di Indonesia.
Selain itu perdaban islam dapat
dilihat dari perkembangan Islam di Indonesia yang meliputi: Awal Masuknya Islam
di Indonesia, Cara Masuknya Islam ke Indonesia, Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah
Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Abul a ‘la Al-Maududi, Khilafah dan
Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung, Mizan,
1998)
Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradaban
Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006)
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan
Pemikiran (Bandung, Mizan,
1995)
1995)
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat
Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)
Jaih Mubarok, Dr., M.Ag., Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas,
dan Pembangunan, (Gramedia, Jakarta,1985)
M.Natsir, Capita Selecta, NV Penerbitan W.
van Hoeve, tanpa tahun
Philip K. Hitti, History of The Arabs
(London : Mac Millan, 1970)
W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam
Lintasan Sejarah (Jakarta : P3M, 1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar