BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf dalam
dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam
perjalanan peradaban Islam, perkembangan dan ketinggian posisinya melebihi dari
kritikan pengamat dan penentangnya.
Kajian Tasawuf
(mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan
dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan
kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh
tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem
kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya,
karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tampa tasawuf Islam akan
kehilangan ruh ajaran aslinya.
Tasawuf akan
membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan ini yang memang tidak bisa
terlepas dari realitas yang tampak maupun yang tidak tampak, Untuk menjadi
seseorang yang bijak dan professional di dalam menjalankan setiap peran dalam
mengarungi kehidupan ini, karena selain bisa memahami realitas lahir ia juga
mampu memahami realitas batin, sehinga ia mampu untuk berinteraksi dangan alam
secara harmonis dan serasi, dan itulah yang diajarkan di dalam agama Islam,
keharmonisan dan keserasian dengan alam semesta.
Dunia
pencarian Tuhan ini terus ber-evolusi menawarkan kebenaran instuitif yang
sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan
intelektual. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban, di saat
jawaban tidak lagi memuaskan, di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan
rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternative pilihan.
Tasawuf adalah
bagian dari Syari’at Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga
kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu
bagaimanapun, perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka Syari’at. Maka
al-Junaid mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi , “Kita tidak
boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul
konsistensinya terhadap Syari’at”. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi,
merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk
menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya
sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal-usul Kata
Tasawuf
• Tasawuf berasal dari kata Ash-shuf (Arab) yang berarti bulu / kain wol
yang kasar. Nabi SAW bersabda “ Hendaklah kamu memakai baju bulu, agar
memperoleh manisnya iman dalam hatimu ”.
• Tasawuf juga berasal dari kata Ahl ash-shuffah yang berarti kelompok sahabat yang tidak punya tempat
tinggal dan tinggal diserambi masjid.
• Teoshophos(Yunani)— Teo (Tuhan) + Shophos (Hikmah / Kebijaksanaan).
Dalam hal Teosophie ini pokok pengkajian agama adalah berdasarkan pada
kemampuan otak dalam berfikir, sehingga Teosophie lebih cenderung merupakan
filsafat daripada tasawuf.
Tasawuf berasal dari tiga huruf sha, wawu dan fa yang secara etimologi
berarti bersih atau suci, sedangkan menurut istilah terjadi beberapa pendapat,
Imam Junaid al Bahgdaty mendefinisikan Tasawuf sebagai berikut: “mengambil
setiap sifat baik dan meningalkan setiap sifat yang rendah”. Menurut Ibrahim
Bin Halal tasawuf adalah memeilih jalan hidup secara zuhud yaitu menjauhkan
diri dari perhiasan hidup dengan berbagai bentuk kemewahan dunia.
Al Sadzily sufi besar dari Afrika Utara mendefisikanya tasawuf sebagai
berikut: “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam serta ibadah untuk
mengembalikan diri pada jalan tuhan”. Dan banyak lagi istilah-istilah yang saya
kira tidak perlu saya paparkan, karena inti dari pada definisi tasawuf adalah “penyucian
batin atau hati dan menjaganya dari hal-hal yang buruk, yang akan melahirkan
perilaku hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta dan segenap Mahkluk.
B. Sejarah
Tasawuf Pada Masa Hasan Al-Bashri
Tasawuf pada abad I dan II Hijriah belum menjadi lembaga tetapi pelaksanaannya
dilaksanakan secara sendiri-sendiri, baru pada abad II H, dikembangkan oleh
para guru rohani dan berkembang menjadi lembaga tarekat. Pada abad ini kecendrungan tasawuf yang
berkembang adalah tasawuf sunni (berorientasi pada akhlak)dan tasawuf filsafat (berorientasi
pada akhlak dengan campuran kajian filsafat). Abad II Hijirah adalah peralihan
zuhud ke tasawuf. Abad II Hijirah adalah peralihan zuhud ke tasawuf. Tokoh:
Imam Jafar Ash Shadiq, Hasan al Bashri.
Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase zuhud
(asketisme), sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan tasawuf,
pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung beribadah
kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu.
Mereka mengamalkan konsep zuhud dalam kehidupan yaitu tidak terlalu
mementingkan makanan enak, pakaian mewah, harta benda melimpah, rumah megah,
tahta, pangkat, jabatan dan wanita cantik, tetapi mereka lebih mementingkan beramal
ibadah untuk kepentingan akhirat dengan rajin mendekatkankan diri kepada Allah,
diantara 'ulama sufi salafi yang terkenal di masa itu adalah Hasan Al-Bashri
(wafat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (wafat 185 ), kedua sufi ini dijuluki
sebagai zahid (orang yang sangat sederhana).
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari
ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan
legalisme serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan atas nama hukum agama.
Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan
sosial, moral, dan ekonomi yang ada di dalam umat Islam, khususnya yang
dilakukan kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah
beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi
tasawuf terhadap formalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan
dan elaborasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Faktor internal lainnya
ialah terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang
saudara yang dimulai antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bermula dari
al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan maka sebagian
tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik dan sosial.
Nilai atau ajaran dalam tasawuf merupakan puncak pengamalan dari akhlak.
Pada masa Nabi SAW, kata tasawuf belum dikenal, yang dikenal adalah istilah
zuhud, wara’. Abu Hasan Al- Fusyandi mengatakan” Hari ini tasawuf hanya sekedar
nama tetapi tidak ada bukti. Pada jaman Rasulullah SAW, taswuf ada buktinya
tapi tidak ada namanya. ”
C. Definisi Tasawuf
Menurut Hasan Al-Bashri
• Sikap
mendekatkan diri pada Tuhan.
• Ilmu tentang
cara memperoleh pengetahuan dari Allah agar dibukakan hijab.
“Aku singkapkan selimut
yang menutupi matamu, kemudian pada hari ini matamu menjadi tajam ” {Qs. Qaf
(22 )}.
• Berhubungan
dengan pandangan realitas, Al Baqarah (115 ) “Kemana kau palingkan wajahmu,
disanalah wajah Allah”. Inilah yang dimaksud tauhid sejati, bahwa tiada sesuatu
di dunia ini, kecualididalamnya terdapat wajah/kekuasaan/keagungan Allah. Tasawuf
sendiri berhubungan dengan Ihsan.
D. Konsef
Zuhud Hasan Al-Bashri
a. Konsep zuhud
sebagai maqam
Maksudnya dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal harus dipisahkan.
Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah
Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang
lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena
sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya…”. Sedangkan Abdul Qadir
al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan
akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan
kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya.
Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual
dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu
memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab
mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan
ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini
al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu.
b. Konsep zuhud
sebagai akhlak Islam
Maksudnya bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap
ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu
saat dipergunakan untuk memotovasi masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan
memobilisasi gerakan massa untuk menumpas berbagai macam bentuk ketidakadilan
di muka bumi ini. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan
tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk
ajaran Futuwwah dan Al-Itsar.
E.
Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Hasan Al-Bashri dan Tujuannya
• Siapa yang
mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya.
• Makrifat
adalah tujuan dari Tasawuf.
• Tiga tahap
menuju makrifat:
1. Takhalli yang artinya pengosongan, yaitu dikosongkannya pengaruh nafsu
setaniah dari diri pelaku tasawuf.
2. Tahalli yang berarti mengisi/ menghias, yaitu mengisi hati dengan Nur
Illahi, sehingga diri terhias dengan amalan baik.
3. Tajalli artinya terbuka/tersingkap, yaitu terbukanya hijab pengenalan
akan Allah SWT.
Tujuan akhir tasawuf adalah untuk
memahamkan orang bahwa tasawuf itu merupakan asas Islam, dalam arti bahwa sikap
Islam adalah sikap yang ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, selain dari
itu ada keseimbangan antara yang zahir dan yang batin, sifat kerohanian dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Syari’at. Tanpa keseimbangan seperti
itu orang Islam akan menjadi bahan olokan dari pihak lain atau tuduhan-tuduhan
yang miring, jadi kita menganggap bahwa Tasawwuf dapat mengangkat derajat umat
Islam untuk dapat menempuh kebahagiaan di dunia dan akhirat
F. Hubungan
Tasawuf Hasan Al-Bashri dengan Syariat, Tarekat, Hakikat, Makrifat
Hubungan dengan syariat: Tasawuf adalah jiwa yang memberikan power, sedangkan
syariat adalah saluran dari power itu. Segala aktifitas syariat harus dijiwai
oleh hati yang ikhlas mendapat ridha ’ dari Allah SWT sehingga berguna bagi umat
(tujuan syariat). Kebersihan hati berhubungan dengan tujuan tasawuf yaitu sikap
hati yang taqwa yang selalu ingin dekat dengan
Allah.
Hubungan dengan Tarekat: Tasawuf merupakan ilmu, tarekat itu metodologi
pengamalan, suluk adalah pelaksanaannya, dan zikirullah adalah isinya.
Hubungan dengan hakikat: Pencapaian daritasawuf adalah mencapai suatu
kebenaran yang mutlak(hakikat) yang tumbuh dari pengamalan tarekat, dengan 3 Macam
tingkat, yaitu:
1. Terbukanya
hijab.
2. Bersih dan
kosongnya hawa nafsu.
3. Mudah dalam melaksanakan
amal saleh.
Hubungan dengan Makrifat Dalam tasawuf, makrifat adalah mengetahui Allah
SWT dari dekat, yaitu dengan hati sanubari. Pengetahuan tentang manusia
terhadap Allah dibagi 3, yaitu:
1. pengetahuan
orang awan yang tanpa memerlukan
pembuktian logika cukup dengan kalimat syahadat.
2. Penegetahuan
ulama, yang memerlukan dalil dan logika. Kedua pengetahuan ini disebut ilmu,
bukan makrifat.
3. Pengetahuan
makrifat adalah pengetahuan akibat disingkapnya tabir (kasyf) oleh Allah akibat
keikhlasan beribadat dan kesungguhan mencintai Allah.
Dalam hal ini pengaruh otak dan pengelihatan mata sudah hilang. Menurut
Al Qusyairi ada 3 alat dalam diri manusia untuk berhubungan dengan Allah:
1. Kalbu
(qalb/the heart) untuk mengetahui sifat Tuhan.
2. Roh (ruh/the
spirit) untuk mencintai Tuhan.
3. Sirr
(Sirr/hati sanubari, inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan.
G. Maqam Hasan
Al-Bashri dalam Tasawuf Tingkat Diri Nafsani
a. Nafsul
ammarah: watak diri jasadi-mengikuti hawa nafsu syahwat — takabur, loba, iri, pemarah,
bakhil, khianat, munafik.
b. Nafsul
lawwamah: menyadari akibat perbuatannya, tapi tidak mampu mengekang diri.
c. Nafsul
Muthma’innah: bersih dari sifat tercela dan terisi sifat terpuji dan sempurna.
d. Nafsul
Mulhamah: jiwa yang telah mendapat ilham dari Allah, berupa ilmu, tawadhu,
menjadi berakhlak terpuji, sabar, tabah dan ulet.
e. Nafsul
Radhiyah: jiwa yang ridha akan ketetapan dari Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya
pada Allah.
f. Nafsul
Mardliyyah: Maqam wali Allah — tingkat yang dimuliakan oleh Allah, siapapun tak
bisa menghinakan.
g. Nafsul
Kamilah: jiwa yang telah menjadi sempurna —ilmu yang diperoleh adalah ilmu ladunni,
dalam kondisi iniruh selalu dekat dengan Allah.
BAB
III
KESIMPULAN
Tasawuf berawal dari kesederhanaan dan kesalehan yang ditunjukkan dalam
kehidupan Muhammad SAW dan para sahabatnya, sikap ini pada masa Hasan Al Bashri
berkembang menjadi asketisme yang menekankan prilaku zuhd, khauf serta mahabbah
oleh beberapa orang.
Tasawuf pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase zuhud
(asketisme), sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan tasawuf,
pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi sepertinHasan Al Bashri yang
lebih cenderung beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala
dosa dan kesalahan masa lalu.
Pokok-pokok
ajaran tasawuf Hasan Al Bashri adalah siapa yang mengenal dirinya pasti akan
mengenal Tuhannya, makrifat adalah tujuan dari Tasawuf dan tiga tahap menuju
makrifat, yaitu:Takhalli yang artinya pengosongan, tahalli yang berarti
mengisi/ menghias dan tajalli artinya terbuka/tersingkap, yaitu terbukanya
hijab pengenalan akan Allah SWT.
Tasawuf menurut Hasan Al Bashri yaitu sikap mendekatkan diri pada Tuhan
dan ilmu tentang cara memperoleh pengetahuan dari Allah agar dibukakan hijab.
Tujuan akhir tasawuf adalah untuk
memahamkan orang bahwa tasawuf itu merupakan asas Islam, dalam arti bahwa sikap
Islam adalah sikap yang ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, selain dari
itu ada keseimbangan antara yang zahir dan yang batin, sifat kerohanian dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Syari’at. Tanpa keseimbangan seperti
itu orang Islam akan menjadi bahan olokan dari pihak lain atau tuduhan-tuduhan
yang miring, jadi kita menganggap bahwa tasawuf dapat mengangkat derajat umat
Islam untuk dapat menempuh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jami, Abd
al-Rahman, Nafahat al-Uns min Hadarat al-Quds: pancaran kaum sufi,
Kamran As’ad Irsyady,ed. Bioer R. Soenardi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Syukur, Amin, Menggugat
Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Siregar, Rivay, Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000.
Sviri, Sara, Demikianlah
Kaum Sufi Berbicara, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar