Daftar Blog Saya

Rabu, 21 September 2011

Sikap Orang Tua Yang Selalu Memanjakan Anak


BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga merupakan suatu institusi awal bagi setiap individu manusia belajar dan berinteraksi dengan sesamanya. Sebagai suatu institusi tentunya dalam sebuah keluarga disepakati adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dikembangka Keluarga yang dimaksud disini, adalah keluarga inti yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak. Sebagaimana budaya ke-Timuran yang menganut asas patriakal, bahwa yang menjadi nahkoda (kepala) dalam sebuah keluarga inti adalah seorang Ayah. Karena dialah yang bertanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarga dan juga bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga secara utuh, termasuk mendidik anak. Dalam menjalankan perannya sebagai kepala keluarga, khususnya sebagai pendidik anak, seorang Ayah akan bekerja sama dengan istrinya, yang dalam hal ini adalah ibu dari anak-anaknya.
Selanjutnya Ayah dan Ibu disebut dengan orang tua yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tumbuh kembang buah hatinya hingga mengantarnya ke gerbang kedewasaan dengan mampu berpikir, bertindak dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat/lingkungannya dan terhadap Tuhan Penciptanya.
Bukan suatu yang berlebihan jika semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Semua orang tua mengharapkan kebahagiaan bagi anak-anaknya, baik untuk kehidupannya saat ini, dan kelak ketika si anak sudah dewasa. Bagaimana para orang tua dapat mewujudkan harapannya ini? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, mengingat masih banyaknya kasus yang menunjukkan kegagalan orang tua dalam mendidik anaknya.
Untuk itulah kehadiran tulisan ini kiranya dapat dijadikan bahan renungan oleh para orang tua guna mencari model dalam mendidik anak-anaknya, demi terwujudnya harapan membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas secara utuh, yaitu memiliki iman dan taqwa, etika, rasa tanggung jawab serta menguasai pengetahuan dan teknologi.

BAB II
SIKAP ORANG TUA YANG SELALU MEMANJAKAN ANAK

A.      Efek Negatif Akibat Memanjakan Anak

Ada sebuah peribahasa The Child is Father of The Man atau anak adalah ayah dari lelaki. Jika dimaknai, maksud dari peribahasa itu ialah anak yang dimanjakan oleh orangtuanya. Peribahasa di atas sudah menjadi fenomena sejak zaman dahulu kala. Para orangtua umumnya bersikap memanjakan anak-anak mereka. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa anak berkedudukan seperti raja di dalam sebuah keluarga. Tidak peduli keluarga itu keluarga kaya, keluarga menengah, keluarga sederhana, bahkan keluarga miskin sekalipun.
Anak kerap dinomorsatukan secara pelayanan, dipenuhi segala kebutuhannya, bagaimana pun caranya. Nyaris setiap orangtua selalu berusaha menjawab (memenuhi) segala keinginan anak-anak mereka. Anak memang segala-galanya bagi orangtua. Kehadiran anak dijadikan mitos sebagai pembawa rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga. Kepada anak orangtua menaruh harapan-harapan, agar anak kelak memberikan kebanggaan dan kebahagiaan. Harapan orangtua, anak dapat hidup lebih baik dari diri mereka secara moril dan materil. Maka tak jarang orangtua yang menjadikan anak mereka asset keluarga. Orangtua yang terlalu berharap berlebihan kepada anaknya sesungguhnya telah membebani hidup anak, sebab anak akan merasa terpasung dalam menentukan sikap sesuai dengan keinginannya (niat dan bakatnya).
Atas hal itu, orangtua pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam merawat, menjaga, dan mendidik anak-anak mereka. Demi mencapai harapan-harapan mereka, seringkali cara mendidik yang dilakukan orangtua kurang tepat. Masalah utamanya karena orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai dalam mendidik putera puterinya.
Ada tipe orangtua yang karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang anak, bersikap lunak dengan memperturutkan semua keinginan anak. Mereka tidak mau untuk mengatakan 'tidak' pada anak. Anak terbiasa tanpa kesulitan atau hambatan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Jika butuh sesuatu tinggal mengatakannya pada orangtua. Anak tidak terbiasa dengan ujian.
Ada pula orang tua yang tidak memperbolehkan anak melakukan jenis pekerjaan rumah. Seperti merapikan tempat tidurnya dan membereskan mainannya. Tentu saja hal ini menjadikan anak tidak terampil karena tidak terbiasa dilatih di rumah. Padahal dengan bekerja, anak dapat mengenal rasa lelah dan menghargai waktu istirahatnya. Pekerjaan di dalam rumah merupakan ajang latihan agar mampu bekerja dan bertanggungjawab dengan pekerjaannya kelak.
Amat keliru orangtua yang menganggap bahwa dengan memberikan tugas-tugas atau meminta anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga merupakan pemberian beban pada anak. Padahal mengikutsertakan anak dalam bekerja di dalam rumah merupakan suatu bentuk pengakuan yang memang dicari anak. Anak justru akan merasa diakui, dihargai, memiliki manfaat bagi orang lain.
Ada beberapa hal yang patut ditanamkan bagi anak, yaitu sikap membantu, mampu kerja sama, dermawan, suka menolong dan bertanggung jawab. Bahkan orangtua dapat juga mendidik mental dan spiritual anak mereka, bukan hanya secara motorik. Tak ada salahnya orangtua mengajak anaknya untuk memikirkan dan memahami tentang berbagai hal, seperti perihal keluarga, tetangga, lingkungan sekitar yang terkena musibah, agama, atau kondisi bangsa dan negara. Dengan sikap seperti itu berarti orangtua telah mendidik anak untuk menjadi insan yang peka terhadap permasalahan, memiliki sikap respek terhadap diri dan lingkungannya.
Pada umumnya anak-anak bersikap manja pada orang dewasa terutama pada orangtua mereka. Namun, hendaknya sikap-sikap itu diatasi dengan mengarahkan dan melatih agar sikap tersebut tidak mendominasi dalam diri anak. Seiring pertambahan usia yang semula kanak-kanak akan tumbuh menjadi remaja, kemudian menjadi manusia dewasa yang nota bene mau tidak mau harus sudah memiliki sikap tanggung jawab terhadap kehidupannya. Jika sikap manja dipertahankan hingga usia menjelang dewasa, tentu hal tersebut akan membawa dampak kurang baik.
Anak manja akan cenderung bermasalah dibandingkan dengan anak yang tidak manja atau terlatih mandiri. Anak manja kerap mempunyai sikap tidak siap menghadapi peraturan-peraturan di lingkungannya dan tidak peduli dengan tanggung jawab sosial. Misalnya di lingkungan sekolah, saat guru memberikan tugas, anak tersebut akan merasa terbebani, bahkan tidak sedikit yang menolak tugas. Hal ini terjadi karena ia tidak biasa disusahkan, tidak peka dengan lingkungannya. Ia lebih terbiasa dibebaskan dari tugas-tugas, biasa dinomorsatukan, dan biasa dibantu.
Pada akhirnya anak manja jadi cenderung untuk bersikap licik, mementingkan dirinya saja, tidak menghargai kepentingan orang lain, tidak sabar terhadap sesuatu, mudah rapuh dan putus asa, sulit untuk mandiri, dan lebih banyak menuntut hak-hak mereka. Mereka juga akan mengalami kesulitan dalam bergaul.
Menghadapi kenyataan ini, orangtua ataupun guru masih dapat mengatasinya dengan mengajak berbicara secara terbuka, memberikan contoh-contoh kehidupan, memberikan wawasan untuk bergaul di masyarakat dengan semestinya. Lalu berikan pendidikan dan pelatihan yang memadai guna membentuk sikap-sikap yang baik pada diri anak. Tidak membiarkan anak bersikap yang salah merupakan tugas utama orangtua, namun tidak cukup dengan kata-kata, melainkan dengan contoh secara langsung. Anak-anak umunya bosan dinasehati, bosan dimarahi, bosan mendengarkan larangan-larangan. Cara yang efektif untuk mengatasinya yaitu dengan contoh nyata. Anak lebih cenderung untuk meniru yang dilihatnya dari pada yang didengarnya. Sesungguhnya niat dan sikap orangtua terhadap anak akan membentuk sifat dan sikap yang identik di dalam diri anak-anak. [Swadaya-43]
Hati-hati jika Anda terlalu memanjakan anak. Perlakuan Anda tersebut ternyata dapat menimbulkan efek tidak baik di kemudian hari. Anak akan menjadi pribadi yang rapuh, tidak bertanggungjawab, tumpul kepekaan sosialnya, dan egois. Padahal saya yakin seratus persen Anda tidak menginginkan anak Anda berkepribadian seperti itu. Mumpung belum terlambat, segera ubah perlakuan terhadap anak-anak Anda. Ajari mereka bersikap mandiri sejak kecil. Paling tidak, saat anak sudah memasuki usia Sekolah Dasar ia harus sudah belajar mandiri. Tidak perlu terlalu muluk-muluk, berikan ia tanggungjawab yang mudah dulu. Seperti menyiram bunga, menguras bak mandi, merapikan tempat tidur, dll. Bertahap namun pasti Anda bisa memberikan tanggungjawab yang lebih besar seiring dengan perkembangan usianya.
Seringkali, orang tua menomorsatukan anak dalam hal pelayanan. Segala kebutuhan anak selalu dipenuhi bagaimana pun caranya. Kehadiran anak dijadikan mitos sebagai pembawa rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga. Orangtua menaruh harapan-harapan kepada anak-anaknya agar mereka memberikan kebanggaan dan kebahagiaan. Banyak orang tua berharap anak-anaknya dapat hidup lebih baik dari diri mereka secara moril dan materil sehingga tidak jarang orangtua menjadikan anak-anaknya sebagai aset keluarga. Orangtua yang terlalu berharap berlebihan kepada anaknya sesungguhnya justru membebani hidup anak itu sendiri. Sebab anak akan merasa terpasung dalam menentukan sikap sesuai dengan keinginannya (niat dan bakatnya).
Atas hal itu, orangtua pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam merawat, menjaga, dan mendidik anak-anak mereka. Demi mencapai harapan-harapan mereka, seringkali cara mendidik yang dilakukan orangtua kurang tepat. Masalah utamanya karena orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai dalam mendidik putera puterinya.
Ada tipe orangtua yang karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang anak, bersikap lunak dengan memperturutkan semua keinginannya. Mereka tidak tega untuk mengatakan 'tidak' pada anak. Akibatnya, anak terbiasa tanpa kesulitan atau hambatan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Hal itu membuat pribadi mereka menjadi rapuh dan tidak tahan uji. Walaupun sebenarnya orang tua tahu bahwa hidup itu penuh ujian dan masalah tapi tetap saja memanjakan anak-anaknya secara berlebihan. Padahal keterampilan dalam menghadapi masalah dan ujian itulah yang sebenarnya perlu ditanamkan kepada anak sejak mereka masih kecil. Agar kelak mereka mampu menghadapi masalah dan ujian yang lebih besar lagi.
Mengikuti tips dari Mas Ricky mengenai Efek Parasit Dalam Bisnis Internet, beberapa waktu yang lalu saya membaca ebook mengenai biografi orang-orang yang sukses dalam hidup seperti KH. Abdullah Gymnastiar, Ciputra, Puspo Wardoyo, Bill Gates, dll. Dari situ saya dapat mengambil satu benang merah bahwa sejak kecil mereka dididik dan dibiasakan oleh orangtuanya untuk bersikap mandiri. Mereka sudah terbiasa merasakan susahnya hidup, menghargai uang, dan menghargai waktu sejak kecil. Tidak jarang mereka diajak orangtuanya untuk membantu berjualan di toko keluarga, merawat tanaman di kebun, atau menjajakan kue keliling kampung. Walaupun kebanyakan orang tua mereka tidak berpendidikan formal, namun mereka tahu bagaimana cara mendidik anak-anaknya di rumah. Hal itu sangat berbeda dengan zaman sekarang yang rata-rata orangtua berpendidikan tinggi namun seringkali salah dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Hingga, tidak jarang anak sekarang masih sangat tergantung dengan orang tuanya saat ia sudah dewasa bahkan sudah menikah sekalipun.
C.      PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK
Dalam sebuah keluarga, tentunya yang sangat berperan adalah ayah dan ibu (orang tua) dalam mendidik anak. Apa saja yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu sebagai sebuah keluarga yang ideal dalam mendidik dan mengembangkan potensi/kemampuan anak-anak :
1. Memahami makna mendidik.
Sebagai orang tua harus memahami benar apa makna dari mendidik sehingga tidak berpendapat bahwa mendidik adalah melarang, menasehat atau memerintah si anak. Tetapi harus dipahami bahwa mendidik adalah proses memberi pengertian atau pemaknaan kepada si anak agar si anak dapat memahami lingkungan sekitarnya dan dapat mengembangkan dirinya secara bertanggung jawab.
Proses memberi pengertian atau pemaknaan ini dapat melalui komunikasi maupun teladan/tindakan, contoh : jika ingin anak disiplin maka orang tua dapat memberi teladan kepada si anak akan hal-hal yang baik dan beretika atau orang tua menciptakan komunikasi dengan si anak yang dialogis dengan penuh keterbukaan, kejujuran dan ketulusan. Apabila kita mengedepankan sikap memerintah, menasehat atau melarang maka langsung ataupun tidak akan berdampak pada sikap anak yang bergaya otoriter dan mau menang sendiri. Kiranya orang tua dapat mengambil pesan moral dari sajak yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte dengan judul “Anak Belajar dari Kehidupannya”:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar memaki / Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri / Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri / Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai / Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar keadilan / Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan / Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar menghargai dirinya / Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ada hubungan kausal antara bagaimana orang tua mendidik anak dengan apa yang diperbuat anak. Atau ibaratnya apa yang orang tua tabur itulah yang nanti akan dituai. Peran orang tua dalam mendidik anak tidak dapat tergantikan secara total oleh lembaga-lembaga persekolahan atau institusi formal lainnya. Karena bagaimanapun juga tanggung jawab mendidik anak ada pada pundak orang tua.
2. Hindari mengancam, membujuk atau menjanjikan hadiah
Dalam mendidik anak jangan memakai cara membujuk dengan menjanjikan hadiah karena hal ini akan melahirkan ketergantungan anak terhadap sesuatu hal baru dia melakuka sesuatu. Hal ini akan mematikan motivasi, kreatifitas, insiatif dan pengertian serta kemandirian mereka terhadap hal-hal yang harus dia kerjakan. Contoh : menjanjikan hadiah kalau nilai sekolahnya baik, atau mengancam tidak memberi hadiah bila nilainya rendah.
3. Hindari sikap otoriter, acuh tak acuh, memanjakan dan selalu khawatir
Seorang anak akan dapat mandiri apabila dia punya ruang dan waktu baginya untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan dan rasa percaya diri yang dimilikinya. Ini harus menjadi perhatian bersama karena hal tersebut dapat muncul dari sikap orang tuanya sendiri yang sadar atau tidak sadar ditampakkan pada saat interaksi terjadi antara ayah dan ibu dengan anak. Sehingga anak-anak akan termotivasi untuk mengaktualisasika potensi yang ada pada dirinya tanpa adanya tekanan atau ketakutan.
4. Memahami bahasa non verbal
Memarahi anak yang melakukan kesalahan adalah sesuatu yang tidak efektif melainkan kita harus mendalami apa penyebab si anak melakukan kesalahan dan memahami perasaan si anak. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahasa non verbal sebagai suatu upaya efektif untuk memahami masalah dan perasaan si anak. Bahasa non verbal adalah dengan memberi sentuhan, pelukan, menatap, memberi senyuman manis atau meletakkan tangan di bahu untuk menenangkan si anak, sehingga si anak merasa nyaman untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan atau perasaannya.
5. Membantu anak memecahkan persoalan secara bersama.
Pada kondisi tertentu dibutuhkan keterlibatan kita sebagai orang tua untuk memecahkan masalah yang dihadapi si anak. Dalam hal membantu anak memecahkan persoalan anak, kita harus melakukannya dengan tetap menjunjung tinggi kemandiriannya.
6. Menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Ayah dan Ibu sering bertengkar dan berselisih bahkan melakukan kekerasan di depan anak-anak, sehingga anak-anak mencontoh dengan bertindak tidak menghargai teman sebayanya atau melakukan kekerasan pula pada temannya.
Demikian beberapa hal yang mestinya dijadi perhatian oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Diakui bahwa hal tersebut di atas dapat ditambahkan dengan hal lain yang positif agar menjadi perbendaharaan pengetahuan dalam mendidik, namun yang terutama dari semua itu adalah orang tua harus “bagaimana menciptakan dan membangun komunikasi yang efektif” dengan anak. Karena hal ini akan secara langsung menjaga dan memelihara kedekatan secara emosional dengan anaknya sehingga dapat mencegah perilaku menyimpang dari si anak. Dalam komunikasi juga perlu ditanamkan sikap optimisme pada anak, mengembangkan sikap keterbukaan pada anak dan perlu mengajarkan tata krama pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. 1995. Penerbit : Gunung Agung
Jalaludin. Psikologi Agama. 2007. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Soedirjo, Moeljono, dan Latipun. Kesehatan Mental Konsep dan Terapi. 2005. UMM Press
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/agama-dan-kesehatan-mental-psikologi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar